BELITUNG, SAWIT INDONESIA – Pemerintah diminta menyelesaikan persoalan tata ruang untuk memberikan kepastian dan kejelasan hukum bagi pelaku industri sawit. Pasalnya, gesekan antara kawasan hutan dengan perkebunan disebabkan ketidakberesan tata ruang di daerah.
“Akibat inkonsistensi aturan berakibat kepada tudingan bahw perusahaan sawit masuk kawasan hutan. Sebagai contoh di Kalimantan Tengah, terdapat 349 perusahaan dituduh berada di kawasan hutan, total luas 2 juta hektare,” kata Eddy Martono Ketua Bidang Agraria dan Tata Ruang GAPKI dalam Lokakarya Wartawan Ekonomi dan Pertanian, di Belitung, Kamis (23 Agustus 2018).
Dengam banyaknya masalah perusahaan yang masuk kawasan hutan, sebenarnya pemerintah telah mengeluarkan aturan PP No.10/2010 jo;PP No.60/2012jo; PP 104/2015 mengenai tata cara perubahan peruntukan dan fungsi hutan. Eddy menyebutkan dengan beleid tadi pemerintah berharap dapat menyelesaikan persoalan keterlanjuran.
Namun aturan tadi tidak mudah selesaikan masalah. Ada dua penyebab yaitu ada masalah perkebunan yang masuk HP dan HPT dengan persyaratan tukar menukar dimana perusahaan kesulitan mencari lahan pengganti dan beban biaya povisi sumber daya hutan, ganti rugi tegakan, dana reboisasi, dimana dendanya sampai 15 kali dari total biaya per hektare
Menurut Eddy, masalah tumpang tindih lahan yang tidak pernah diselesaikan secara tuntas, menjadi faktor penghalang bagi pertumbuhan iklim investasi Indonesia. Akibatnya, industri sawit terlalu banyak disibukkan dengan persoalan tumpang tindih yang pokok persoalannya sebenarnya ada pada beberapa kementerian.
Eddy menyarankan, dalam revisi UU 41, sebaiknya penetapan kawasan hutan cukup dipertegas dengan menjadi menjadi hutan primer, sekunder dan hutan produksi sehingga tidak menimbulkan banyak konflik seperti yang saat ini terjadi.
“Faktanya, banyak kawasan hutan yang justru “menabrak” HGU, karena penetapan aturannya diberlakukan belakangan,” kata Edi.