Mahkamah Agung baru saja menerbitkan Putusan Uji Materiil terhadap beberapa pasal krusial pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.17/Menlhk/Setjen/Kum.1/2/2017 sebagai perubahan dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.12/Menlhk-II / 2015 tentang pembangunan hutan tanaman industri. Putusan Uji Materil nomor 49 P/ HUM/ 2017 tanggal 2 Oktober 2017 bisa dipersepsikan sebagai wujud check and balances yudikatif dalam konteks regulasi pemanfaatan lahan gambut, mengingat Indonesia adalah negara dengan lahan gambut terluas ke 4 di dunia.
Persoalan terkait regulasi gambut dimulai dari terbitnya Peraturan pemerintah (PP) Nomor 57 tahun 2016 tentang Perubahan atas PP Nomor 71 tahun 2014 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. PP ini dinilai berpotensi dapat menggangu iklim investasi baik dari segi teknis budidaya maupun dari segi kepastian investasi, rumitnya PP ini menjadi dasar beberapa bagi beberapa aturan turunan lahan gambut yang bersifat teknis yaitu 4 Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yaitu Peraturan Menteri Nomor P.14/Menlhk/Setjen/Kum.1/2/2017 tentang tatacara inventarisasi dan penetapan fungsi ekosistem gambut ; Peraturan Menteri Nomor P.15/Menlhk/Setjen/Kum.1/2/2017 tentang tatacara pengukuran air tanah dan titik penaatan ekosistem gambut ; Peraturan Menteri Nomor P.16/Menlhk/Setjen/Kum.1/2/2017 tentang pedoman teknis pemulihan ekosistem gambut dan Peraturan Menteri Nomor P.17/Menlhk/Setjen/Kum.1/2/2017 sebagai perubahan Peraturan Menteri Nomor P.12/Menlhk/Setjen/Kum.1/2/2017 terkait pengembangan Hutan Tanaman Industri.
Regulasi yang termaktub dalam Peraturan pemerintah (PP) Nomor 57 tahun 2016 tentang Perubahan atas PP Nomor 71 tahun 2014 beserta turunannya tersebut dianggap bertentangan dengan aturan yang sudah ada sebelumnya dan belum dicabut yakni Peraturan Menteri Pertanian nomor 14 /Permentan/PL110/ 2/2009 tentang Pedoman Budidaya Lahan Gambut, dalam hal ini adanya dualisme peraturan yang masih berlaku dapat menyebabkan permasalahan yang bersifat lintas sektoral diantaranya akan menimbulkan persoalan teknis, investasi, ketenagakerjaan hingga persoalan sosial.
Semangat Presiden Joko Widodo dalam membenahi persoalan lahan gambut ini perlu diapresiasi mengingat memang adanya urgensi pembenahan lahan gambut yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan pembentukan Badan Restorasi Gambut oleh Presiden melalui Peraturan Presiden Nomor 1 tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut dengan target merestorasi 2 juta hektare lahan gambut. Pasca pembentukan badan restorasi gambut terbit dua peraturan terkait yaitu Peta Indikatif Prioritas Restorasi gambut nasional berdasarkan Keputusan kepala BRG nomor SK.05/BRG/KPTS/2016, peta indikatif yang dibuat Badan Restorasi Gambut dibuat tidak berdasarkan survey detail dan survei lapangan yang akurat sehingga hanya bersifat indikatif saja dalam menentukan zonasi, meskipun peta yang diterbitkan BRG melalui lampiran nomor SK.05/BRG/KPTS/2016 masih bersifat indikatif dan belum definitif tetapi menimbulkan kewajiban baru bagi pihak yang merasa keberatan. Untuk melakukan verifikasi atas perbedaan klasifikasi gambut, definisi kubah gambut dan luasan areal terbakar adapun kewajiban verifikasi tersebut lebih lanjut diatur dalam Peraturan Kepala Badan Restorasi Gambut nomor P.3/KB BRG-SB/11/2016 perihal tata cara verifikasi dan penetapan lokasi restorasi gambut bagi penanggung jawab usaha.