Untuk mengatasi kemunduran kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perkebunan diperlukan perubahan paradigma dari budaya birokrasi menjadi korporasi. Hal ini mesti dilakukan supaya BUMN dapat mengejar ketertinggalannya dari perkebunan swasta.
Maruli Gultom, Rektor UKI yang juga mantan Komisaris PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V ini berpendapat BUMN pun harus dapat bersaing dengan swasta. Berikut ini hasil wawancara kami dengan rektor “nyentrik” ini di sela-sela acara pengumpulan dana untuk beasiswa mahasiswa UKI yang berlangsung di Bogor:
Bapak pernah menjabat sebagai Komisaris Utama PTPN. Menurut Bapak hal masalah apa yang membuat BUMN perkebunan sulit berkembang?
Sebenarnya potensi BUMN perkebunan sangat luar biasa karena sudah ada lebih dulu dibandingkan perkebunan milik swasta. Padahal, PTPN itu mempunyai keuntungan dari aspek mendapatkan lahan yang sesuai dan terbaik sementara swasta baru masuk belakangan. Nyatanya, sampai sekarang total produksi CPO PTPN lebih rendah dari swasta. Masalah yang menghambat tidak dapat dipungkiri berasal dari kuatnya budaya birokrasi dan politik yang selama ini terjadi di BUMN perkebunan atau lainnya.
Sekarang ini, gebrakan yang dibuat Dahlan Iskan selaku menteri baru sangatlah bagus sekali dengan mendorong budaya korporasi di PTPN. Apabila kebijakan ini tidak diganggu maka hasil dari kebijakannya akan lebih cepat terlihat. Kalau mau ditinjau lebih dari, PTPN itu sebenarnya kuat dari aspek pengetahuan belum termasuk dari pengalama dan teknologi yang mereka kuasai dalam budidaya kebun, itukan jauh di atas swasta. Tetapi mengapa masih kurang bersaing? Inilah dampak yang dirasakan dengan adanya hambatan birokrasi, sehingga BUMN tidak bisa berbuat apa-apa.
Contoh gampangnya, swasta gencar membeli teknologi terbaru tetapi hal ini tidak dilakukan BUMN, pada akhirnya kondisi ini yang membuat teknologi PTPN terus tertinggal. Tengok saja, kondisi pabrik gula BUMN yang berumur tua semenjak jaman Belanda tetap digunakan sampai sekarang. Oleh karena itu, BUMN harus segera berubah supaya kembali lagi menjadi pionir.
Apakah sudah terlihat hasil dari masuknya budaya korporasi tersebut?
Jadi ketika Dahlan Iskan masuk ke Kementerian BUMN, dibawalah budaya korporasi untuk menggantikan paradigma birokasi selama ini. Mesti diketahui, BUMN itu benar-benar sangat birokrasi sekali sehingga bisa saja ada karyawan yang terbukti melakukan tindakan kriminal seperti mencuri, belum tentu bisa dipecat paling hanya dicopot jabatan saja.
Dan, pengambilan keputusan di BUMN itu tidak sesederhana layaknya perusahaan swasta. Ada banyak pertimbangan sosial, politik dan birokrasi ke atas yang sangat panjang. Jadi, wilayah kewenangan direksi BUMN itu tidak seluas swasta karena ada Kementerian BUMN. Hal inilah yang coba dipangkas oleh Dahkan Iskan bagaimna melimpahkan langsung wewenang yang sebelumnya di tangan BUMN kepada jajaran komisaris dan direksi.Tetapi hal ini dipandang berbeda oleh kalangan legislatif yang menilai kebijakan ini menyalahi regulasi. Padahal keputusan Dahlan Iskan ini cukup baik supaya perusahaan negara dapat bersaing dengan perusahaan swasta, tetapi hal ini dinilai kurang benar menurut anggota dewan.
Isu BUMN menjadi sapi perah oleh pihak tertentu menjadi wacana yang terus menggelinding di tengah-tengah masyarakat. Tanggapan bapak soal masalah ini?
Itu sudah cerita lama, bahkan sudah terjadi ketika saya masih aktif sebagai pengurus di GAPKI. Pernah, ada rapat dengar pendapat antara GAPKI dengan komisi tertentu, lalu ada permintaan dari sana supaya dikumpulkan sejumlah dana dari perusahaan sawit. Ya, langsung saya minta pengurus supaya balik badan dan tidak jadi datang kesana. Sering ditemukan, BUMN atau asosiasi menjadi lahan jarahan anggota dewan lewat cara meminta makan siang atau mengumpulkan dana.
Memang, hal ini tidak dapat digeneralisasi bahwa tindakan tersebut dilakukan oleh anggota ewan seluruhnya tetapi DPR harus mengakui praktek-praktek tadi memang benar terjadi dan ada. Semestinya, setalah dapat laporan seperti yang dilakukan Dahlan Iskan dengan mencari oknum anggota tadi. Kalau Dahlan Iskan diminta membuktikan pelanggaran tadi mesti dipahami juga bahwa dia bukanlah polisi dan intel yang punya wewenang sebagai perangkat hukum.
Pemerintah berencana merevisi aturan perkebunan yang mewajibkan membangun kebun untuk masyarakat sebesar 20% dari total luas areal milik perusahaan. Bagaimana pendapat Bapak?
Itu tidak ada gunanya, tak hanya politik yang harus demokratis termasuk bisnis harus demokratis. Karena kalau bisnis itu dibatasi maka negara juga yang akan rugi. Kalau mau, perusahaan sebaiknya diminta untuk berbagi pengetahuan atau transfer knowledge kepada masyarakat. Akan lebih baik jika perusahaan diwajibkan dipaksa untuk mendorong produktivitas lahan petani sama dengan mereka.
Kalau hanya sekadar membagi-bagi tanah disitu tidak ada kearifan sama sekali karena membuat orang malas dengan pertimbangan mereka penduduk asli. Jadi itu kebijakan yang salah, kalau mengutip petuah Deng Xio Ping “Tidak ada pembayaran, kalau tidak ada pekerjaan”. Jangan sampai konsep egaliter disalahtafsirkan. Jadi, pemerintah itu harus memberika kesempatan yang sama apabila perusahaan dapat investasi sebaiknya masyarakat juga dapat kesempatan itu. Sehingga masyarakat itu banting tulang dan bekerja keras,bukan sekadar memanfaatkan status sebagai penduduk lokal. Khawatirnya, anak cucu mereka tidak terbiasa bekerja keras kalau itu tanah dibagi-bagi lalu dijual kembali, maka mereka akan menjadi miskin lagi. (Bebe)