Diskriminasi sawit tidak terlepas dari kondisi geopolitik di Eropa. Kampanye anti sawit merupakan isu populis untuk menarik suara pemilih .
Mahendra Siregar, Wakil Menteri Luar Negeri RI, menjelaskan bahwa label menjadi sarana menyampaikan komunikasi kepada konsumen terkait komposisi makanan, kualitas, dan nilai nutrisi. Label juga digunakan untuk mencantumkan klaim-klaim terkait kesehatan dan sustainability. Berkaitan label Palm Oil Free telah digunakan sebagai false advertisement karena klaim bahwa produk dengan label tersebut lebih sehat dan ramah lingkungan.
Penjelasan ini disampaikan saat menjadi key note speaker di acara #INA Palm oil Talk show bertajuk “Food Labelling Threaten Palm Oil Market” pada Rabu, 16 September 2020. Lebih lanjut dikatakan Mahendra, klaim terkait lingkungan telah terbukti salah dengan data yang menunjukkan tingkat penggunaan tanah dan air untuk produksi minyak sawit lebih sedikit apa bila dibandingkan dengan minyak nabati lainnya; sementara klaim terkait kesehatan dapat terbantahkan dengan fakta bahwa minyak sawit mengandung asam oleat dan lino leat yang tergolong asam lemak tidak jenuh, serta vitamin A dan E sebagai anti oksidan.
Sebagai contoh pada tahun 2017 KLM telah menggunakan label palm oil free dalam sajian makanan. CPOPC telah mengajukan protes melalui surat kepada KLM pada tanggal 23 November 2017, sehingga KLM mengubah labelling dari Palm Oil Free menjadi Sustainable Palm Oil.
Meningkatnya populisme di Eropa menyebabkan partai sayap kanan semakin kuat di berbagai negara. Partai sayap kanan memiliki kebijakan yang cenderung proteksionis dalam bidang ekonomi. Sementara itu, dalam pemilihan Parlemen Eropa, kelompok green berhasil meningkatkan perolehan suara dari 38 kuris (2014) menjadi 58 kursi (2019). The Guardian menerbitkan artikel menarik: “German far right infiltrates green groups with call to protect the land”.
Baik populist policy dari rights mau pun left menjadi leverage bagi proteksi para petani Eropa. Dalam lima tahun kedepan, kepentingan untuk melindungi petani bunga matahari dan rape seed di Eropa bisa memberi dampak yang semakin buruk pada diskriminasi kelapa sawit.
Salah satu bentuk diskriminasi adanya menguatnya misleading food labelling untuk meng-contain kelapa sawit. Referendum anti sawit Swiss tidak bisa dilepaskan dari kenaikan perolehan partai kanan; kampanye anti sawit di Perancis tidak bisa dipisahkan dari perolehan partai green.
Kendati banyak hambatan, industri makanan di Eropa memerlukan palm oil-based food derivative, yang umumnya berupa palm olein dan palm stearin. Palm Olein digunakan untuk bahan es krim dan frozen pizza. Palm stearin digunakan untuk bahan margarin.
Dalam national post tariff Indonesia, tercatat 3 jenis palm olein dan 19 jenis palm stearin. Meskipun sudah ada kampanye negatif terhadap minyak sawit berupa label palm oil free, negara-negara Uni Eropa masih mengimpor palm oil-based food derivative dari Indonesia pada tahun 2020.
“Dalam perspektifnya POF tentu saja tidak baik atau merugikan industri kelapa sawit. Namun pada konteksnya, secara stategis yang dirugikan bukan semata-mata stakeholder sawit tetapi Republik Indonesia karena dibelakangnya adalah persepsi dan informasi yang menyesatkan, dan merugikan baik reputasi Indonesia secara umum mau pun pemerintah, regulator, serta berbagai pihak tentu yang melakukan penegakan hukum,” tutur Mahendra.
Sebelumnya, isu label POF merupakan isu seputar kesehatan seperti saturated fat yang telah dibantah secara ilmiah sehingga apa bila dilakukan dengan alasan demikian maka akan menyesatkan konsumen. Pada akselerasinya, POF dikaitkan dengan isu deforestasi yang digulirkan dan dimanfaatkan oleh beberapa pihak.
Mahendra menjelaskan tren POF di luar negeri dilatar belakangi dan didorong oleh beberapa faktor diantaranya adanya idealisme suatu kelompok tertentu, sikap proteksi onisme dari para ekstrimis sayap kanan dan juga kepentingan-kepentingan marketing yang mengambil peluang demi kepentingan pasar.
“Saya yakin pasar Indonesia juga memiliki beberapa idealisme serupa, namun kita bersyukur Badan POM yang merupakan lembaga yang memiliki otoritas memahami posisi strategis produk kelapa sawit,” ujar Mahendra.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 107)