BANDA ACEH, SAWIT INDONESIA – Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) di Aceh menghadapi hambatan berat lantaran beragam persoalan. Adalah kekhawatiran petani sawit terhadap tindakan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh dalam pengusutan dugaan korupsi dalam PSR. Sebab, petani merasakan kejanggalan dalam persoalan hukum ini.
Seusai makan malam, pengurus dan petani APKASINDO Aceh membeberkan persoalan hukum terhadap program PSR. Para peserta dari 11 DPD Apkasindo dari 11 Kabupaten Kota Aceh ingin meminta solusi dari DPP APKASINDO dan perwakilan pemerintah pusat.
Kehadiran Dr. Tri Chandra Apriyanto (Kantor Wakil Presiden RI), Syaiful Bahari, SH, MH (Staf Khusus Menteri Pertanian), dan Victor Yonathan, SH.,M.Kn (Dewan Pakar DPP APKASINDO) dinantikan petani sawit Aceh. Ketiganya merupakan pembicara di sesi pertama dan kedua Focus Group Discussion (FGD) “Kiat Sukses Peremajaaan Kelapa Sawit Rakyat dalam Rangka Mendukung Percepatan Peremajaan Sawit Rakyat 500.000 Ha” di Provinsi Aceh semenjak 14-15 Juni 2021.
“Kami dari DPP APKASINDO wajib menampung semua permasalahan yang dihadapi oleh petani sawit terkhusus anggota APKASINDO. Tidak terkecuali aspek hukum terkait PSR karena program ini menjadi Program Strategis Presiden dan Wakil Presiden. Untuk membicarakan aspek hukum ini, panitia juga mengundang Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh. Tapi sangat disayangkan tidak satupun perwakilan Kejati Aceh yang hadir dan tanpa konfirmasi sama sekali,” urai Dr cn Ir Gulat Manurung, MP.,C.APO, Ketua Umum DPP APKASINDO.
Padahal, harapan Gulat bersama petani sawit lainnya, Kejati Aceh dapat memberikan pencerahan dari aspek hukum. Dari diskusi, ada informasi bahwa aparat Kejati Aceh sedang fokus memeriksa pelaksanaan PSR di Aceh. Pendapat tentang pemeriksaan ini pun saling gayung bersambut. Dari hasil pengalaman beberapa petani sawit saat di-BAP oleh Kejati Aceh tergambarkan point-point dalam BAP, dan durasi lama proses BAP.
“Saya melihat ada ketakutan dari ketua Kelompok Tani dan KUD serta pengurus. Dari diskusi tadi, sebenarnya dalam pelaksanaan PSR tadi tidak kami temukan kejanggalan serius. Hanya ada permasalahan administrasi saja. Itu yang kami catat dan dengar,” lanjut Gulat.
Gula menuturkan sebenarnya terjadi miskomunikasi dalam pemahaman tentang PSR ini. Program ini seharusnya tidak dapat dilihat setengah-setengah dan harus utuh.
“Jika hanya setengah-setengah, maka persoalan yang timbul seperti di Aceh ini. Sementara itu, Presiden Jokowi sudah menyoroti lambatnya target PSR Nasional seluas 500 ribu hektar yang akan berakhir di 2021. Dari laporan BPDPKS dan Dirjenbun dari tahun 2017-2020 baru terealisasi 228.800 hektar (45,76% dari target 500 ribu hektar),” kata Gulat.
Menurutnya lesunya pencapaian target PSR ini akibat beberapa faktor. Tapi setahun terakhir ini bertambah pula faktor yang membuat target PSR lambat salah satunya tindakan aparat hukum yang memeriksa petani sawit peserta PSR.
“Sebab pihak Kejati Aceh sudah hampir satu tahun silih berganti memanggil Petani PSR, termasuk juga memanggil dan melakukan BAP dari Kementerian Pertanian dan BPDPKS,” tambah Kandidat Doktor Lingkungan ini.
Sebagai informasi, Tim jaksa penyelidik pada Kejaksaan Tinggi Aceh akhirnya meningkatkan ke tahap penyidikan kasus dugaan korupsi program peremajaan sawit rakyat di Provinsi Aceh Tahun Anggaran 2018, 2019 dan 2020 yang bersumber dari Badan Layanan Umum (BLU) Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang berada di bawah Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Setelah selesai melakukan penyelidikan, jaksa menemukan adanya indikasi permasalahan yaitu adanya kelemahan dalam proses verifikasi, dana yang diperuntukan untuk peremajaan sawit tidak dapat dipertanggung jawabkan dalam setiap item kegiatan / pengadaan, dan adanya syarat-syarat pengajuan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku seperti tumpang tindih alas hak atas lahan para pengusul.
Gulat mengatakan APKASINDO berharap hal-hal yang bersifat kesalahan administrasi sebaiknya tidak perlu dilakukan proses BAP. Cukup instansi terkait yang melakukan pembinaan atau perbaikan. Tentu saja semua ini berdasarkan hasil audit dari BPK atau Lembaga yang ditunjuk oleh BPDPKS atau Dirjenbun.
“Keluhan Petani PSR dari 22 Provinsi perwakilan APKASINDO sudah cukup banyak. Bahkan beberapa provinsi menyampaikan petani akan mogok PSR. Mereka mengeluh dan ketakutan. Hal ini jangan sampai terjadi di Aceh karena bisa berdampak kepada petani peserta PSR. Mental mereka akan terdampak sehingga batal ikut program strategis Presiden Jokowi terkait PSR ini,” kata Gulat.
Yang perlu dipahami, dana PSR ini bukanlah dari APBN. Tapi, dana ini bersumber dari pungutan ekspor (PE) yang dikelola-salurkan oleh BPDPKS. Pada Mei 2021, dana pungutan ekspor tercatat US$ 255 per ton CPO.
Dr Tri Chandra dari kantor Wakil Presiden Bidang Penanggulangan Kemiskinan dan Otonomi Daerah, yang mengikuti diskusi malam tadi lalu menanggapi keluhan petani sawit PSR di Aceh. Ia meminta aparat Kejati Aceh mesti selektif dalam melakukan pemanggilan petani peserta PSR. Sebab pemanggilan ini sangat mempengaruhi psikologis petani.
“Mereka tidak terbiasa dengan BAP. Jangan sedikit-sedikit panggil dan BAP. Karena berpotensi menggagalkan program strategis Presiden,” ujar Chandra.
Sebelum diskusi malam berakhir, beberapa point penting dicatatkan sebagai kesepakatan bersama antara lain (1). Sepakat mendukung Kejati Aceh untuk memastikan dana PSR tidak disalahgunakan, namun jika hanya administrasi sebaiknya diserahkan ke instansi terkait; (2). DPP APKASINDO akan memberikan laporan lengkap tentang aspek hukum PSR yang dialami oleh Petani Apkasindo kepada Ketua Dewan Pembina DPP APKASINDO, Jenderal TNI (Purn) Dr Moeldoko, S.IP; (3). DPP APKASINDO akan menyurati Presiden Jokowi; (4). DPP APKASINDO akan melakukan Audiens ke Kantor Wakil Presiden; (5). DPP APKASINDO akan melakukan Audiens dan Silaturahmi ke Kantor Kejagung; (6). DPP APKASINDO dengan DPW APKASINDO Aceh akan membentuk Tim Pencari Fakta tentang aspek hukum PSR; (7). DPP APKASINDO akan membentuk Tim Advokasi dan Sosialisasi Hukum untuk pelayanan kepada Anggota APKASINDO (ber KTA) di 22 Provinsi.