Koperasi Unit Desa (KUD) Mulus Rahayu sukses menjalankan panen perdana program Peremajaan Sawit Rakyat pada 2018 lalu. Caranya adalah melakukan kemitraan dan petani mau belajar.
Peremajaan sawit di KUD Mulus Rahayu adalah program yang pertama kali dijalankan petani plasma, perusahaan (Asian Agri) dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Pawito Saring, Ketua KUD Mulus Rahayu menjadi koperasi petani kelapa sawit pertama yang menerima dana bantuan peremajaan dari pemerintah melalui BPDP-KS sekaligus melakukan peremajaan pertama pada April 2016.
“Kami bersyukur menjadi petani yang menerima dana bantuan peremajaan dari pemerintah. Selain itu, kemitraan dengan perusahaan juga turut mendukung dalam mempersiapkan kebutuhan dan persyaratan yang diperlukan, baik pada proses peremajaan di lapangan hingga dukungan ekonomi alternatif sehingga tidak menghadapi tantangan yang berarti dan melakukan peremajaan dengan lancar,”ujar Pawito.
Ada 135 petani anggota KUD Mulus Rahayu yang mengikuti PSR tahap pertama. Total luas lahan yang diremajakan mencapai 310 hektar kebun. Seluruh kebun PSR sudah panen perdana pada November 2018. Di tahap pertama, KUD Mulus Rahayu menerima hibah dari BPDPKS sebesar 6,35 M dengan luasan areal 310 Ha.
Di tahap kedua, petani KUD Mulus Rahayu mengikuti program PSR tahap 2 seluas 66 Ha pada 2020 lalu. “KUD Mulus Rahayu selalu berkoordinasi dengan mitra Perusahaan untuk memberikan informasi dan pendampingan kepada petani untuk mendapatkan bantuan BPDPKS melalui Program PSR,” ujar Pawito.
Pria asal Sukoharjo ini mengakui hasil panen kebun PSR lebih baik dan memberikan kesejahteraan lebih baik. Rata-rata hasil panen setiap bulan sebesar 4 ton per kavling. Sebelum diremajakan, petani hanya menghasilkan rerata 1-2 ton per bulan per kavling. Lantaran, usia tanaman sudah di atas 25 tahun.
“Belum semua kebun sawit anggota KUD Mulus Rahayu diremajakan. Persoalan mental karena mereka belum siap. Takut kehilangan pendapatan bulanan,” jelas Pawito.
Pengalaman Pawito, kebun yang tidak diremajakan akan membebani biaya operasional dan rendah produksi. Dengan tanaman usia di atas 25 tahun, biaya panen yang ditanggung petani sebesar Rp 200 ribu per tonase. Sedangkan, hasil produksi sangat di bawah 2 ton per bulan per kavling.
Agar petani dapat naik kelas, Pawito menyarankan tidak perlu takut replanting. Karena sudah ada yang sukses untuk dijadikan rujukan. Saat ini, masih ada 300 hektare kebun sawit anggota KUD Mulus yang belum diremajakan.
“Jangan takut replanting. Saya ingin gencar melakukan sosialisasi kepada petani. Karena tahap pertama sudah ada hasil. Buktinya, petani peserta PSR tetap bisa makan. Walaupun mesti menunggu panen sekitar 3 tahun sebelum panen,” ungkapnya.
Ia mengatakan bantuan BPDPKS telah mencapai Rp 30 juta per hektare. Ini artinya, dana tambahan PSR yang diajukan keperbankan semakin kecil. Dari pengalamannya, petani cukup mengajukan pinjaman untuk tahapan P1 dan P2. Karena memasuki tahapan P3, produksi tanaman sudah dapat dinikmati.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 116)