Dalam kurun waktu sepuluh tahun aturan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) telah berubah. Pemerintah berharap kedepan kredibilitas dan kualitas sertifikasi ISPO terus meningkat.
“Kita tidak hanya mengharapkan luas areal dan besarnya sertifikasi ISPO yang telah dikeluarkan. Tapi kita melihat prinsip dan kriteria terkait penerapannya lebih kredibilitas tinggi lagi serta peningkatan kualitas,” ujar Kepala Seksi Pembinaan Usaha Perkebunan Berkelanjutan Kementerian Pertanian (Kementan) Prasetyo Djati saat menjadi pembicara Dialog Webinar Refleksi 10 tahunISPO : Percepatan Sawit Indonesia Berkelanjutan yang diselenggarakan Majalah Sawit Indonesia, pada akhir September 2021.
Dalam perjalanan 10 tahun sertifikasi ISPO terjadi banayak perubahan. Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 19 Tahun 2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan menjadi tonggak berdirinya ISPO.
Permentan ISPO ini lahir dari amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan pasal 2 bahwa penyelenggaraan perkebunan itu harus berkelanjutan. “Pada saat itu kita belum mengatur terkait perkebunan berkelanjutan di kelapa sawit,” ujar dia.
Namun, kata Prasetyo, audit ISPO pertama kali dilakukan oleh pemberi izin atau pemerintah dan istilah auditor internal dilakukan oleh pelaku usaha. Kemudian diterbitkan Permentan Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penilaian Usaha Perkebunan (PUP) dan bersamaan lahirnya RSPO.
“PUP ini diaudit oleh pemerintah dalam rangka tata kelola perkebunan. Tidak hanya sawit, tapi semua komoditas perkebunan,” ujar dia.
Ada pun ISPO ini banyak tuntutan terkait pemenuhan aspek lingungan, sosial dan ekonomi. “Dalam Permentan No.19 tahun 2011 ada tambahan aspek legalitas untuk perkebunan terintegrasi dari kebun hingga unit pengolahan,” jelas Prasetyo.
Lalu, tahun 2015, Permentan 19/2011 dicabut dan digantikan oleh Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 11 Tahun 2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit.
Ada perbaikan pada Permentan tersebut terkait izin budidaya dan izin pengolahan kelapa sawit terintegrasi. ”Sertifikasi ISPO yang terkait dengan pelaku usaha itu wajib, namun ada suka rela adalah pekebun dan perusahaan biofuel,” kata dia.
Prasetyo mengungkapkan bahwa adanya tuntutan berbagai pihak terkait koreksi penyelenggaraan ISPO, maka terbitlah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesi.
“Perpres ini untuk merangkum semua ketentuan dan aturan ISPO dari Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutnan (KLHK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan Kementerian Tenaga Kerja,” kata dia.
Untuk menyesuaikan Perpres, terbitlah Permentan Nomor 38 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan. “Permentan ini lebih disempurnakan lagi dan ada perubahan signifikan dari Permentan No.11/2015,” ujar Prasetyo.
Dalam Permentan 19/2011 dan Permentan 11/2015, penerbitan sertifikat ISPO dilakukan oleh Komisi ISPO. “Kemudian terobosan baru dalam Permentan 38/2020 penerbitan ISPO dilakukan pada masing-masing lembaga sertifikasi (LS),” tutur dia.
Menurutnya, sudah tidak ada lagi intervensi peran sekretariat Komite ISPO. “Jadi mereka (red) dapat menerbitkan sertifikasi ISPO dan LS ini juga diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN),” jelas Prasetyo.
Kedepan, kata dia, ada perubahan pandangan bahwa sekretariat dan Komite ISPO tidak terlibat secara langsung dalam penerbitan sertifikasi ISPO. “Tidak ada lagi alasan hambatan dalam sertifikasi ISPO, sertifikasi ISPO tetap berjalan, meski dalam masa peralihan atau transisi ini kita butuh persiapan KAN untuk memberikan akreditasi 15 lembaga sertifikasi membutuhkan waktu 2 tahun,” terang Prasetyo.
Selain itu, dibutuhkan upgrade auditor ISPO untuk pemahaman dalam Permentan 38/2020 terkait kelembagaan sertifikasi ISPO. “Sekarang ini untuk Komite dan Sekretariat ISPO memang tidak dilibatkan secara langsung proses sertifikat ISPO,” ujar dia.
Prasetyo menambahkan, sebelumnya pekebun itu sukarela, sekarang menjadi wajib melaksanakan sertifikasi ISPO. Namun diberikan waktu dispensasi selama 5 tahun dan tidak dibedakan plasma atau swadaya.
“Kondisi di lapangan sekarang program plasma lebih kearah kebun masyarakat 20 persen. Sebelumnya memang plasma satu bagian dari inti,” kata dia.
Kemudian kelembagaan ada dewan pengarah diketuai oleh Menteri Kordinator Perekonomian yang sebelumnya tidak ada. Selain itu, ada Komite ISPO yang diketuai oleh Menteri Pertanian.
Selain itu, sertifikasi ISPO juga mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 tahun 2014 tentang Standarisasi dan Penilaian Kesesuaian. Kemudian mengadopsi penerapan trans paransi, termasuk metode rantai pasok, pembinaan dan pengawasan, penerapan sertifikasi ISPO oleh Menteri, Gubernur dan Walikota. Terakhir pencantuman logo ISPO oleh pelaku usaha yang telah memiliki sertifikat ISPO.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 120)