Jakarta, Sawit Indonesia – Persoalan kemitraan antara petani sawit dan perusahaan inti mendapat atensi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Isu pelanggaran pelaksanaan kemitraan yang sering terjadi adalah perjanjian kemitraan dibuat sepihak oleh usaha besar. Selain itu, tidak mengatur pengembangan UMKM, dan usaha besar memiliki kontrol sepenuhnya untuk menentukan kebijakan atau pengambilan keputusan dalam hubungan kemitraan.
Bahkan memutus secara sepihak hubungan kemitraan. Kepala Bidang (Kabid) Kajian dan Advokasi Kanwil V KPPU Samarinda Ratmawan Ari Kusnandar menyampaikan, berdasarkan UU 20/2008 tentang UMKM, KPPU diberi tugas baru melakukan pengawasan kemitraan. “Jadi apabila ada pelanggaran perjanjian kemitraan dapat dilaporkan ke KPPU,” katanya dalam keterangan tertulisnya saat menjadi pembicara “Pembinaan dan Peningkatan Kemitraan Perkebunan Sawit di Kabupaten Kutai Barat (Kubar)” yang diselenggarakan Dinas Perkebunan (Disbun) Kaltim, Selasa (28/5).
Ari melanjutkan, dalam hal pengawasan perjanjian kemitraan antara pelaku usaha besar dengan UMKM berdasarkan hukum yang berlaku, harus dibuat dalam bahasa Indonesia. Dan sekurang-kurangnya berisi identitas para pihak, jenis kegiatan usaha, hak dan kewajiban para pihak, bentuk pengembangan, jangka waktu kemitraan, jangka waktu pembayaran serta penyelesaian masalah.
“Oleh karena itu, ke depannya akan ada program penyuluh kemitraan yang akan membantu pelaku UMKM untuk memahami perjanjian kemitraan. Sebelum ditandatangani ataupun ketika ada pelanggaran yang terjadi,” ujarnya. Dia menyampaikan, kemitraan merupakan kerja sama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, memercayai, memperkuat, dan menguntungkan.
Pelaku usaha besar dilarang memiliki maupun menguasai UMKM yang menjadi mitranya. Lanjut dia, persoalan kemitraan yang kerap ditemukan di sektor perkebunan sawit adalah, pelaku usaha besar dalam hal ini perusahaan inti perkebunan sawit, biasanya bermitra dengan koperasi petani. Kemitraan sawit dilakukan melalui kebun plasma. Lahan yang dibangun dan dikembangkan oleh perusahaan perkebunan. Ketika sudah berproduksi, lahan plasma kemudian diserahkan kepada petani rakyat untuk dikelola. Pelanggaran kemudian terjadi ketika perusahaan inti tidak melibatkan petani plasma dalam pembahasan proyeksi bisnis. Termasuk tidak melibatkan dalam penyusunan perjanjian dan membuat isi perjanjian yang tidak sesuai dengan prinsip kemitraan.
Selain itu, perusahaan inti perkebunan sawit tidak melibatkan petani plasma dalam pengelolaan keuangan dan pembiayaan kebun plasma. Bahkan tidak melibatkan petani plasma dalam hal penentuan harga beli tandan buah segar (TBS) kebun plasma. “Dan KPPU dapat menangani laporan masyarakat bila terjadi pelanggaran perjanjian kemitraan,” tegas Ari.
Dia juga mengakui bahwa pelaksanaan pengawasan kemitraan memang belum berjalan secara optimal. Alasannya, luasnya lingkup pengawasan, besarnya jumlah pelaku UMKM, serta keterbatasan informasi UMKM, dan sumber daya di KPPU. Sehingga untuk efektivitas pengawasan, KPPU akan mencetak sejuta penyuluh kemitraan UMKM dalam lima tahun ke depan. Yang akan dimulai tahun 2024 hingga 2029. “KPPU sudah mendapat restu dari Bapak Wakil Presiden Ma’ruf Amin untuk menjalankan program sejuta penyuluh kemitraan. Untuk menjaga substansi perjanjian kemitraan yang berdasarkan prinsip saling memerlukan, memercayai, memperkuat dan menguntungkan,” ungkapnya.
Sumber: prokal.co