JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Tuduhan negatif terhadap kelapa sawit mulai terjawab oleh berbagai riset dan fakta ilmiah. Informasi sesat yang beredar selama ini bagian dari kepentingan negara barat yang terus memojokkan kelapa sawit.
“Stigma negatif itu berasal dari informasi yang tidak berdasar. Karena dari berbagai penelitian, semuanya itu tidak terbukti,” ujar Tenaga Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Dr Bedjo Santoso dalam diskusi “Masa Depan Pengelolaan Gambut dan Sawit di Indonesia” di Jakarta, Selasa (11/4/2017).
Tanaman sawit lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan jenis tanaman hutan. Bedjo mencontohkan, dari sisi penyerapan air, sawit justru lebih efisien. Dalam setahun, sawit menyerap air sebanyak 1.104 milimeter, lebih sedikit jika dibandingkan tanaman sengon (1.355), jati (1.300), mahoni (1.500), maupun pinus (1.975).
Sementara itu dari sisi penyerapan karbondioksida (CO2), sawit justru lebih banyak menyerap CO2 jika dibandingkan dengan empat tanaman hutan tersebut.
Menurut data yang dimilikinya, tiap hamparan sawit seluas 1 hektare (ha) mampu menyerap CO2 sebanyak 36 ton. Jumlah ini lebih banyak jika dibandingkan dengan tanaman sengon yang hanya mampu menyerap CO2 sekitar 18 ton, jati (21 ton), mahoni (25 ton), dan pinus (20 ton).
“Angka-angka tersebut merupakan fakta penelitian yang dilakukan oleh ahli di bidangnya. Ini bukan ngarang. Jadi di mana letak sawit tidak ramah lingkungan?” kata Bedjo.
menurut Bedjo informasi yang menyesatkan tersebut berasal dari pesanan barat yang tujuannya melindungi komoditasnya, baik itu tanaman rapeesed, sun flower (bunga matahari), maupun soyben (kedelai).
“Padahal justru tanaman sawit justru lebih efisien menggunakan lahan jika dibandingkan dengan tanaman rapeesed, bunga matahari, maupun kedelai itu. Perbandingannya sekitar 1 berbanding 10,” kata Bedjo.
Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Lingkungan Mukti Sardjono menyebutkan rata-rata produktivitas sawit saat ini sekitar 4,27 ton per hektare (ha) dengan total lahan di seluruh dunia baru sekitar 20,23 juta ha. Tnaman rapeesed yang menjadi andalan para petani di Eropa produktivtasnya hanya 0,69 ton per ha dan menggunakan lahan seluas 33,66 juta ha. Tanaman bunga matahari yang juga banyak ditanam di Eropa produktivitasnya hanya 0,52 ton per hektar dan hingga 2016 telah menggunakan lahan seluas 24,69 juta hektar.
Tanaman kedelai yang banyak ditanam di Amerika Utara dan Kanada hingga saat ini telah menggunakan lahan seluas 121,99 juta ha dan produktifitasnya hanya 0,45 ton per ha. “Ini artinya apa, tanaman sawit jauh lebih efisien,” kata Mukti Sardjono.
Jadi, kata Mukti Sardjono, salah besar apabila Parlemen Eropa dalam resolusinya merekomendasikan tanaman sawit di Indonesia diganti dengan rapeesed dan sun flower. Apabila itu dilakukan, kata dia, bisa dipastikan perambahan hutan semakin massif. Sebab jelas dibutuhkan lahan yang lebih luas.
Selain itu juga karena kedua tanaman tersebut kurang cocok ditanam di Indonesia yang beriklim tropis. “Jadi resolusi Parlemen Eropa itu mengada-ada. Jelas sekali kalau itu hanya untuk melindungi komoditasnya yang kalah bersaing dengan minyak sawit,” kata Mukti.