JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Kalangan akademisi meminta pemerintah untuk memperhitungkan dampak sosial pasca terbitnya Kepmen LHK No SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang pencabutan izin konsesi kawasan hutan. Prof. Budi Mulyanto, Guru Besar IPB University, mengatakan aturan baru ini berpeluang menimbulkan masalah agraria dan kerawanan sosial di lapangan.
“Saya khawatir jika tidak hati-hati maka dapat mengganggu stabilitas nasional. Mengingat banyak beredar nama-nama perusahaan di dalam lampiran aturan tersebut. Yang perlu diwaspadai, lahan dapat diokupasi masyarakat. Dampaknya akan terjadi keresahan,” ujar Budi Mulyanto dalam perbincangan telepon, Senin (10 Januari 2022).
Sebagai contoh di perkebunan sawit, menurut Budi Mulyanto, kegiatan operasional berpotensi terganggu seperti perawatan dan hasil panen. Dampak lebih luasnya kepada industri dan perekonomian nasional. Yang lebih sulit adalah mencegah intervensi masyarakat di kebun setelah mengetahui nama-nama izin perusahaan yang dicabut.
“Kementerian LHK juga sebaiknya memikirkan dampak pencabutan izin kepada pekerja. Karena akan mengurangi lapangan kerja. Ini belum termasuk dampak indeks investasi dalam Ease of Doing Business (EODB) Indonesia. Sedangkan Presiden Jokowi ingin menarik investasi dari dalam dan luar negeri. Ini menjadi kontraproduktif,” paparnya.
Tantangan berikutnya adalah mengawal lahan-lahan yang izin konsesinya dicabut. Budi Mulyanto mengatakan pencabutan izin konsesi di kawasan hutan menciptakan kekosongan legalitas dan kepemilikan lahan.
“Kalau lahan dicabut, jelas membuat lahan open access sehingga masyarakat bebas masuk. Ada kemungkinan berbagai kelompok akan masuk untuk klaim lahan. Pertanyaannya, mampukah KLHK mengawal lahan yang tadi?” tanya Doktor lulusan Rijk Universiteit Ghent (RUG), Belgia ini.
Masalahnya sekarang adalah penetapan kawasan hutan dilakukan klaim sepihak. Tetapi tidak dilakukan mekanisme dan tahapan tata batasnya. Namanya tata batas, Kementerian LHK harus mengajak bicara pihak-pihak yang berbatasan dengan kawasan hutan yang akan ditetapkan. Karena berkaitan hak para pihak tadi.
“Kawasan hutan ini ditetapkan KLHK saja lalu bagaimana nasib tanah masyarakat di dalamnya yang sudah ada sebelum Indonesia Merdeka. Ataupun masyarakat yang tinggal di lahan yang diklaim masuk kawasan hutan,” ujarnya.
Prof Budi mengingatkan bahwa ada penerapan asas Contradictoire Delimitatie atau Kontradiktur Delimitasi. Saat ini, KLHK dinilai belum mengikuti penerapan asas ini. Kawasan hutan yang ditetapkan faktanya banyak rakyat di dalamnya.
“Jangan rakyat diminta untuk mengajukan permohonan pelepasan lahan. Tetapi berikan (lahan) tadi kepada rakyat. Seharusnya rakyat dibantu melalui fasilitasi oleh pemerintah,” urainya.
Prof Budi Mulyanto mendukung kebijakan Presiden Jokowi untuk menertibkan Hak Guna Usaha yang terlantar. Tetapi kementerian teknis harus hati-hati dalam mengambil kebijakan.”Tidak bisa dilakukan secara sepihak. Ini berpotensi terjadi kerawanan sosial,” pungkasnya menutup pembicaraan.