Tekanan harga CPO di pasar global berimbas buruk kepada pendapatan dan laba bersih perusahaan di tahun kemarin. Strategi peningkatan produksi dijalankan perusahaan supaya pendapatan tahun 2013 tidak merosot tajam.
Pelemahan harga CPO yang terjadi semenjak setelah kuartal pertama tahun lalu yang terus berlanjut sampai akhir tahun, mengakibatkan pengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan sawit yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (emiten). Memang tak semua emiten sawit mengalami penurunan pendapatan, ambil contoh PT Astra Agro Lestari Tbk, PT Salim Ivomas Pratama Tbk, PT Tunas Baru Lampung Tbk, PT BW Plantations Tbk, PT PP London Sumatra Indonesia Tbk, PT Provident Agro Tbk, dan PT Jaya Agra Wattie Tbk. Untuk dapat menghadapi tekanan harga, strategi peningkatan volume penjualan dilakukan perusahaan tadi.
Kelik Irwantono, Sekretaris Perusahaan PT BW Plantations Tbk, mengakui pendapatan perusahaan dapat meningkatkan pendapatan tahun ini lewat optimalisasi volume penjualan. Dari data perusahaan, CPO yang terjual tahun 2012 naik 12,1% menjadi 119.624 ton dari tahun sebelumnya berjumlah 106.735 ton.
Penurunan harga yang terjadi di pertengahan tahun kemarin, menurut Kelik, juga diantisipasi dengan meningkatkan produksi CPO dan kernel. “Dengan demikian, kendati harga jual CPO merosot tetapi dapat ditopang oleh pertumbuhan volume produksi,” ujar Kelik.
Harga jual CPO BW Plantation terkoreksi 3,6% menjadi Rp 7.179 per kilogram pada 2012, dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp 7.447 per kilogram. Bahkan, harga jual kernel anjlok 27,3% menjadi Rp 3.201 per kilogram, dari tahun 2011 sebesar Rp 4.402 per kilogram.
Strategi meningkatkan volume penjualan dilakukan pula oleh PT Astra Agro Lestari Tbk. Merujuk kepada data perusahaan, volume penjualan CPO tahun 2012 mencapai 1,42 juta ton atau naik 13,4% pada 2012, dari tahun sebelumnya berjumlah 1,25 juta ton. Begitupula dengan penjualan kernel tumbuh 16,9% menjadi 232.104 ton dari tahun 2011 sebanyak 198.561 ton.
Kendati demikian, perusahaan tidak mampu mempertahankan harga jual CPO yang turun 3,4% menjadi Rp 7.322 per kilogram dan harga kernel tergerus 19,6% menjadi Rp 3.466 per kilogram. Tetapi, anak usaha Grup Astra ini dapat mencetak pendapatan Rp 11,56 triliun pada 2012. Angka ini menunjukkan kenaikan 7,3% dari tahun 2011 yang hanya Rp 10,77%.
Sedangkan, PT Sampoerna Agro Tbk mencatat penurunan pendapatan 5% menjadi Rp 2,9 triliun dari tahun 2011 berjumlah Rp 3,1 triliun. Turunnya performa emiten berkode SGRO akibat merosotnya harga jual CPO dan kernel. Michael Kesuma, Head of Investor Relations PT Sampoerna Agro Tbk, menuturkan harga jual rata-rata CPO perusahaan tahun 2012 sebesar 15% jika dibanding dengan tahun sebelumnya, harga jual palm kernel juga turun sebesar 19%. Kedua produk tersebut menyumbang sebesar 96% dari total pendapatan perseroan.
Anak usaha Grup Indofood, PT Salim Ivomas Pratama Tbk membukukan penjualan neto 10% menjadi Rp 13,8 triliun pada 2012, dari tahun sebelumnya berjumlah Rp 12,6 triliun. Penjualan ini ditopang meningkatnya volume penjualan CPO dan produk minyak nabati kepada pihak eksternal, serta penjualan gula. Dari segi volume, CPO stabil di angka 829 ribu ton dan palm kernel naik 5% menjadi 202 ribu ton. Sedangkan, jumlah penjualan minyak goreng, margarin, dan minyak kelapa naik 5% menjadi 808 ribu ton dari 772 ribu ton yang didukung peningkatan kapasitas penyulingan.
Arief Fahruri, Analis Reliance Securities, mengakui beberapa emiten memang ada yang pertumbuhannya positif dan negatif pada tahun kemarin. Emiten yang positif antara lain PT Astra Agro Lestari Tbk, PT London Sumatera Indonesia Tbk, PT Salim Ivomas Pratama Tbk, dan PT BW Plantatiosn Tbk. Hal ini tercermin dari pertumbuhan penjualan dan pendapatannya. Selain itu, dapat terlihat pula dari tumbuhnya produksi CPO perusahaan yang mengindikasikan tidak ada perubahan.
Menurutnya, rendahnya harga jual CPO lebih dipengaruhi krisis ekonomi yang terjadi di Uni Eropa. Belum lagi, pertumbuhan Cina yang melambat disusul pula India. “Akibatnya, kita lihat tahun lalu stok CPO di Malaysia dapat mencapai 2 juta ton. Kondisi ini mencerminkan permintaan CPO stagnan,” ujar Arief kepada SAWIT INDONESIA.
Pada 2012, harga CPO turun 11% dengan kisaran US$ 800 per ton. Faktor lain yang menjadi penyebabnya adalah produksi minyak nabati ikut tumbuh sehingga kompetisi antar minyak nabati semakin ketat. FAS USDA mencatat produksi soybean oil tahun 2012 mencapai 42,35 juta ton, disusul rapeseed oil sebanyak 24,29 juta ton dan sunflower oil berjumlah 15,10 juta ton.
Tumbuh Positif
Pelemahan ekonomi yang masih terjadi di Uni Eropa diperkirakan akan menekan harga CPO sampai akhir tahun ini. Beberapa analis memproyeksikan harga CPO di kisaran US$ 900-US$ 950 per ton. Arief Fahruri memproyeksikan penjualan emiten sawit akan tumbuh 6% di tahun ini karena sampai triwulan pertama harga masih lemah. Di sisi lain, Growth Domestic Product (GDP) Cina sekitar 7,7% yang akan mempengaruhi permintaan CPO.
“Dapat dikatakan pertumbuhan penjualan tetap ada walaupun tipis sekali,” kata Arief Fahruri.
Kelik Irwantono optimistik BW Plantation dapat mencapai pertumbuhan pendapatan 25% di tahun ini sebab harga jual diperkirakan masih akan sama seperti tahun lalu. Oleh karena itu, produksi CPO akan ditingkatkan karena tahun ini saja sudah ada tambahan area menghasilkan sekitar 13.821 hektare.
Untuk mengantisipasi penurunan harga, Michael Kesuma menuturkan akan terfokus untuk meningkatkan penerapan best agronomi practices di perkebunan untuk meraih keuntungan jangka panjang usaha. Pertumbuhan produksi perusahaan masih sekitar 5-10%, ditopang terutama oleh meningkatnya usia profil kebun dan juga ada beberapa areal TBM yang akan memasuki TM tahun ini.
Per 31 Desember 2012, PT Sampoerna Agro memiliki luas lahan 114.827 hektare yang terdiri dari 921.120 hektare lahan TM dan 22.706 ha lahan TBM.
Derom Bangun, Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) optimistis ekspor CPO tahun ini tidak akan terganggu kebijakan tarif impor yang diberlakukan India karena konsumen di negara yang berpenduduk lebih dari satu miliar jiwa ini menginginkan minyak makan berharga murah. Sebenarnya , India menghadapi dilema antara melindungi petani dan masyarakatnya sebagai konsumen minyak makan.
“Jadi di India, itu ada tarik menarik kepentingan antara petani dan pembeli minyak makan,” kata Derom.
Faktor lainnya berasal dari pemulihan ekonomi di Uni Eropa dan Amerika yang akan berpengaruh kepada India. Menurut Derom Bangun, kedua negara tadi merupakan importir utama produk-produk India sehingga cukup mempengaruhi daya beli masyarakat. Sekarang ini, kondisi ekonomi yang mulai membaik akan berpengaruh positif kepada permintaan minyak makan India.
Arief Fahruri mengatakan strategi lain yang dapat dipakai perusahaan dengan cara memperluas pasar penjualan CPO ke negara lain diluar India dan Cina. Potensi kenaikan penjualan tidak akan besar walaupun permintaan tetap ada karena CPO ini merupakan komoditi yang harganya lebih terjangkau dari minyak nabati lain. Konsumsi minyak sawit domestik tetap lebih banyak digunakan sebagai bahan baku kebutuhan pangan dan non pangan seperti komestik. Sayangnya, pengembangan bahan baku CPO sebagai energi alternatif seperti biodiesel sedang dalam pengembangan.
Ekspansi tetap jalan
Belanja modal yang disediakan emiten sawit tahun ini cukup tinggi untuk membiayai kegiatannya mulai dari akusisi lahan baru, pembangunan pabrik sawit, dan penanaman. PT Astra Agro Lestari Tbk mengalokasikan dana Rp 3 triliun pada tahun ini. Tofan Mahdi, Head of Public Relations PT Astra Agro Lestari Tbk, mengatakan dana akan dipakai untuk ekspansi bisnis antara lain akuisisi lahan, pembangunan pabrik, refineri, dan pelabuhan.
Dari Rp 3 triliun tadi, belanja modal yang dipakai membeli lahan sekitar 30%., yang berlokasi di Kalimantan Barat seluas 16 ribu hektare. Selanjutnya, belanja modal sekitar 28% digunakan membangun pabrik sawit dan pelabuhan. Sisanya sekitar 20% akan dipakai membangun refineri.
Bambang Ibrahim, Direktur Keuangan PT Jaya Agra Wattie Tbk, menganggarkan belanja modal sebesar Rp 570 miliar yang dipakai pemeliharaan tanaman baru dan tanaman lama (eksisting). Alokasi lain dana dipakai untuk pembangunan pabrik kelapa sawit berkapasitas 45 ton TBS per jam di Kalimantan Selatan.
“Sumber pendanaan belanja modal berasal dari sisa dana IPO, kas internal dan pinjaman perbankan,” ujar Bambang Ibrahim.
PT Sampoerna Agro Tbk menyiapkan dana belanja modal Rp 1 triliun pada tahun ini. Dana ini akan dipakai penanaman kelapa sawit dan pembangunan kebun sagu. Begitupula dengan PT BW Plantations Tbk mengalokasikan dana belanja modal sekitar Rp1 triliun. Kelik Irwantono menuturkan dama dipakai untuk kegiatan penanaman lahan seluas 4.000 hektare. Lalu, adapula pembangunan pabrik kelapa sawit di Kalimantan Timur berkapasitas 60 ton TBS per jam yang mulai dibangun Oktober 2012. Selain itu, akan dipakai pula untuk perawatan tanaman.
Anak usaha Sungai Budi Grup, PT Tunas Baru Lampung Tbk menganggarkan belanja modal sekitar Rp900 miliar di tahun ini. Sudarmo Tasmin, Wakil Direktur PT Tunas Baru Lampung Tbk, menjelaskan belanja modal ini dipakai menambah lahan sawit yang dialokasikan Rp 300 miliar. Kemudian, belanja modal disiapkan membangun pabrik kelapa sawit (PKS) yang berkapasitas 45 ton TBS per jam. Pabrik kelima ini berlokasi di Lampung yang membutuhkan dana sekitar Rp60 miliar-Rp75 miliar.
Selain penanaman sawit, belanja modal dipakai bagi pengembangan industri tebu perusahaan. Sudarmo mengatakan akan dilakukan penanaman lahan perkebunan tebu sekitar Rp80 miliar-Rp100 miliar. Selanjutnya, dipakai bagi pembangunan pabrik gula rafinasi yang perlu dana Rp 100 miliar. (Qayuum)