JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pemerintah diminta menggunakan sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai instrumen perdagangan dalam bernegosiasi. Keinginan ini disampaikan Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dalam acara Penyerahan Sertifikat ISPO di Jakarta (29/8/2017).
Menurutnya ISPO dapat menjadi instrumen negosiasi perdagangan di negara tujuan ekspor sawit terutama Uni Eropa. Hambatan perdagangan dalam bentuk tarif maupun non tarif tidak semata-mata keberlanjutan (sustainability) melainkan masalah perdagangan pula. Pemerintah dapat mengamankan perdagangan sawit dengan memperkuat negosiasi.
“Jangan berharap premium price dan diskon pajak dari ISPO. Lupakan saja. Akan lebih ISPO menjadi instrumen perdagangan,”kata Joko.
Pemerintah, kata Joko diharapkan, memperkuat negosiasi sifatnya kepada hubungan bilateral. Apalagi sekarang ini industri sawit menghadapi berbagai hambatan tarif biodiesel Amerika Serikat (AS) dan resolusi sawit Uni Eropa.
Menanggapi keinginan GAPKI, Oke Nurwan, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, mengatakan sudah banyak konsep sertifikasi dijadikan sebagai instrumen dagang. Aspek yang penting dibangun adalah kepercayaan dan keberterimaan ISPO di pasar internasional.
“Saat ini yg digunakan Lebih banyak RSPO dibandingkan ISPO,” ujar Oke melalui pesan layanan singkat.
Joko menegaskan bahwa ISPO merupakan sertifikat sawit yang bersifat mandatori dan satu-satunya indikator keberlanjutan di Indonesia. Walaupun produsen punya sertifikat ISPO bukan berarti semua selesai karena pasar global mempunyai permintaan spesifik bahkan menginginkan sertifikasi lain seperti ISCC.
“Setelah dapat ISPO belum tentu semuanya lancar karena masih ada permintaan di pasar yang lebih spesifik. Ada yang belum bisa dipenuhi ISPO maupun RSPO,” kata Joko.
Saat ini baru 16,7% dari total 11,9 juta hektar perkebunan sawit yang sudah bersertifikat ISPO. Hingga Agustus 2017, Komisi ISPO telah menyerahkan 306 sertifikat kepada pelaku usaha perkebunan