JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) mengadakan pertemuan bersama asosiasi petani sawit dari negara-negara produsen dalam program Smallholders Outreach Program yang bertujuan meningkatkan kolaborasi dan kerjasama petani sawit dunia untuk mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 serta untuk memperbaiki citra sawit di mata dunia.
“Tanpa kelapa sawit, maka SDG’s tidak akan bisa dijalankan,” pernyataan ini diamini oleh perwakilan petani sawit se-Asia Pasifik yang hadir dalam acara ini, Selasa (11 Agustus 2020).
Dalam diskusi virtual ini APKASINDO mewakili petani sawit di Indonesia untuk mempresentasikan persoalan para petani. Djono Albar Burhan, S.Kom, MMgt (Int. Bus), CC, CL, ditunjuk untuk berbicara dalam forum ini. Sebagian informasi, perwakilan negara yang hadir antara lain Malaysia melalui The National Association of Smallholders (NASH), India, Thailand, Papua Nugini dan lainnya.
Diskusi dibuka oleh Dupito Simamora, Deputi Eksekutif Direktur CPOPC dan menyampaikan bahwa SDG’s adalah target bersama dunia untuk dunia yang lebih baik dan berkelanjutan, dan melalui sawit, kita dapat mencapai SDG’s. Pembahasan pertama dibawakan oleh perwakilan Indonesia, Djono Albar Burhan dari APKASINDO menyatakan bahwa Indonesia memiliki 652 bahasa dan 1340 suku merupakan negara majemuk, yang disatukan oleh sawit dimana 21 juta lebih orang bergantung kepada sawit untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari dan peningkatan kualitas hidup. APKASINDO merupakan asosiasi petani sawit terbesar di Indonesia dan payung dari para petani sawit terdepan dengan memiliki perwakilan di 118 Kabupaten/kota (DPD) dari 22 DPW Provinsi.
Djono menambahkan komoditas sawit sejauh ini tahan terhadap ancaman covid-19 kendati harga TBS sempat turun; tapi masih lebih tinggi dibandingkan harga tahun lalu. Kenaikan ini ditopang konsumsi sawit tinggi dan juga sebagai bahan baku utama kebutuhan pokok masyarakat seperti minyak goreng, deterjen dan juga sebagai bahan bakar biodisel yang saat ini sudah pada level B30 dan D100. Industri sawit secara signifikan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat, infrastruktur dan lapangan pekerjaan bagi pedesaan.
“Ada beberapa tantangan yang dihadapi petani sawit Indonesia saat ini yaitu harga TBS berbeda di berbagai provinsi, produktivitas perlu ditingkatkan, adanya tengkulak yang tidak bertanggung jawab yang tidak mengayomi petani kecil dan juga manfaat langsung ISPO pada TBS petani, ” ujarnya.
Djono menutup dengan mengatakan bahwa sawit itu seksi karena tingginya keterlibatan masyarakat dalam siklus produksinya, terkhusus di hulu dan hanya sawitlah yang mampu memenuhi capaian kriteria SDGs”
Dilanjutkan oleh perwakilan dari National Association of Smallholders (NASH) Malaysia, Adzim Hassan mengatakan bahwa permasalahan petani sawit Malaysia sama dengan yang dihadapi Indonesia, yaitu masalah transparansi harga dan manfaat sertifikasi keberlanjutan MSPO bagi TBS petani. “Persoalan lain adalah regenerasi karena rata-rata petani sawit di Malaysia berumur 50 sampai 60 tahun,” jelasnya.
Perwakilan India, Rasith, mengatakan bahwa sawit penghasilan lebih besar dibandingkan dengan komoditas lain. Akan tetapi, permasalahan terbesar saat ini adalah kurangnya jumlah pemanen yang berkualitas yang mampu memanen sawit secara baik dan benar, saat ini mereka sedang berusaha mengumpulkan anak muda untuk dilatih menjadi pemanen yang baik.
Djono, saat memberikan tanggapan atas pernyataan bahwa CPOPC harus bekerjasama dengan petani sawit agar dapat menepis kampanye negatif yang mengatakan bahwa sawit itu merusak lingkungan, sawit menghancurkan ekonomi masyarakat.
“Karena faktanya sawit menjadi lokomotif ekonomi Indonesia khususnya di pedesaan, anak-anak petani dapat mengenyam pendidikan yang layak, signifikan mengentaskan kemiskinan dan memberikan dampak sosial yang sangat baik bagi masyarakat disekitar perkebunan sawit,” tegasnya.
Ia meminta informasi positif harus dikampanyekan oleh petani yang merasakan manfaat sawit jika petani yang mengkampanyekan akan lain ceritanya jika dibandingkan hanya korporasi dan diplomat yang jalan sendiri, kita harus bersepakat dan sepakat untuk itu.
Tan Sri Datuk Dr. Yusof Basiron, Direktur Eksekutif CPOPC menutup diskusi dengan mengatakan bahwa CPOPC menampung semua masukan dan akan menjadi wadah agar sawit dunia semakin baik. Bersama petani, CPOPC bisa melawan kampanye negatif karena sawit menjadi minyak nabati paling efisien dan membutuhkan lebih sedikit lahan untuk meningkatkan produktifitas agar dapat memenuhi kebutuhan dari populasi dunia yang meningkat.
Ir. Gulat ME Manurung, MP.,C.APO, Ketua Umum DPP APKASINDO menuturkan sangat mengapresiasi Diskusi virtual di antara petani sawit se-Asia Pasifik ini karena menggambarkan begitu berartinya sawit untuk kesejahteraan umat manusia dimuka bumi ini khususnya negara produsen sawit.
“Permasalahan yang dihadapi oleh negara produsen CPO hampir sama di semua negara terkhusus kampanye negatif sawit, semua merasakan dampaknya. Negara penghasil sawit harus bersatu mengembangakan produk turunan sawit supaya manfaatnya lebih dahsyat, terkhusus untuk energi terbarukan, itu cara kita melawan kampanye negatif,” jelas Gulat.
Riau sebagai Provinsi terluas perkebunan sawitnya, diketahui bahwa ekonomi Riau, 53% ditopang oleh sektor pertanian/perkebunan dan sektor industri hilir kelapa sawit (BI Riau, 2019). Dan jika kita bandingkan 22 Provinsi penghasil CPO dari 34 Provinsi di Indonesia, ke 22 Provinsi Sawit tersebut berada pada kelompok Skor Copetitiveness Papan Atas dan Menengah dengan skor 800-130.
Untuk itu, dikatakan Gulat, industri kelapa sawit sudah 5 tahun terakhir bertengger sebagai penghasil devisa negara terbesar dari semua komoditi ekspor Indonesia. “Meskipun harus diakui masih banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk lebih mendorong digdayanya ekonomi kelapa sawit, seperti menjadikan sawit dipimpin oleh seorang Dirjen (Eselon I), dimana sudah 75 tahun Indonesia merdeka. Karena sekarang ini, komoditas strategis seperti sawit dipimpin seorang Eselon IV sekelas Kasubdit,” ujar Gulat mengakhiri.