Pemerintah diminta melindungi data Hak Guna Usaha (HGU) karena bersifat privat. Hal itu merujuk pada pasal 17 UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang menyebut 10 pengecualian terhadap informasi yang wajib dibuka kepada masyarakat.
Walaupun ditekan LSM, Kementerian ATR tetap menolak membuka informasi data HGU.
Menteri Agraria Tata Ruang, Sofyan Djalil mempertanyakan urgensi dibukanya data HGU. Jadi kalau ada misalnya disclosure secara terbuka dan itu hak, apa kepentingannya?” ujar Sofyan, seperti dilansir dari media nasional.
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan nomor register 121 K/TUN/2017, bahwa pemerintah wajib membuka data tersebut demi menghindari polemik hutan dan sengketa lahan yang sering terjadi di kawasan HGU.
Sofyan menjelaskan lebih lanjut bahwa pengajuan data atas HGU harus mengikuti aturan yang berlaku. Mekanismenya, pihak pemohon harus mengajukan surat permohonan ke Kementerian ATR dan membayar sejumlah tarif yang nantinya masuk ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Lebih lanjut Sofyan Djalil menegaskan HGU ini masih bersifat private property. Terkait putusan MA, Kementerian ATR tetap mengkajinya. Namun pemerintah ingin lebih berhati-hati karena saat ini banyak pihak meinta data tanpa landasan kepentingan bersifat nasional.
Guru Besar IPB bidang ahli Kebijakan, Tata Kelola Kehutanan, dan Sumber Daya Alam (SDA) Prof Dr Ir Budi Mulyanto MSc menerangkan secara gamblang perihal boleh tidaknya data Hak Guna Usaha (HGU) dibuka ke ranah publik. Dalam pandangannya, tidak bisa seluruh data Hak Guna Usaha (HGU) sawit bisa dibuka ke publik karena ada kepentingan privat di dalamnya yang secara hukum dilindungi oleh undang-undang.
“Data-data umum mengenai luasan dan izin HGU yang telah diberikan bisa saja menjadi menjadi data publik. Namun tidak etis dan tidak ada perlunya publik mengetahui data privat seperti titik kordinat HGU perusahaan. Apalagi sampai meminta semua dokumen termasuk file SHP sebagai data publik,” kata Budi Mulyanto.
Mantan Dirjen Penataan Agraria pada Kementerian ATR/BPN ini juga mengingatkan prosedur yang ditempuh korporasi untuk mendapatkan HGU bukan perkara yang mudah.” Ada proses perizinan yang selektif dan panjang di dalamnya serta melibatkan semua pihak termasuk masyarakat ulayat. Hal ini harus dihormati semua pihak,” kata Budi Mulyanto.
Selain itu, Kementerian ATR/BPN tidak bisa membuka data karena ada aturan untuk melindungi hak privat. Hal itu merujuk pada pasal 17 UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang menyebut 10 pengecualian terhadap informasi yang wajib dibuka kepada masyarakat.
Pengamat hukum Kehutanan dan lingkungan Dr Sadino mengatakan, pemerintah tidak perlu membuka data HGU perkebunan sawit seluruhnya karena rawan dijadikan sebagai alat kampanye hitam. Di sisi lain, negara juga wajib melindungi banyak kepentingan hukum lain terkait kerahasiaan pemerintah provinsi dan investasi.
Salah satunya agar kepercayaan kreditor terhadap dunia usaha tidak menurun karena selama ini HGU juga dijaminkan. “Jika semua data HGU dibuka, maka kepercayaan investor terhadap dunia usaha di Indonesia menjadi berkurang,” kata Sadino.
Menurut Sadino, sebenarnya data umum mengenai keterbukaan HGU sudah ada yang bisa di akses publik. Data HGU tersebut menyangkut luasan perkebunan, tanggal penerbitan, nomor penerbitan dan data umum lainnya.
Hanya saja, permintaan kelompok sipil untuk mengakses semua data HGU terkait semua dokumen termasuk file SHP dan peta koordinat sangat berlebihan. “Untuk kepentingan apa seluruh data itu harus bisa diakses. dalam industri sawit selama ini, ujung-ujungnya data ini hanya akan dipergunakan sebagai alat kampanye hitam.”
Menurut Sadino, kalau ada LSM yang mengaku mewakili masyarakat sipil atau masyarakat yang berkonflik dalam kasus per kasus pengajuan itu bisa saja dilakukan, namun tetap ada mekanisme eksekusi/putusan.
Dalam putusan/ eksekusi yang sering menjadi masalah adalah karena yang digugat hanya BPN. Sedangkan pihak-pihak seperti korporasi sawit lain sebagai pemegang tidak pernah digugat.
“Hal ini menyulitkan karena pemegang HGU, pasti akan keberatan dengan putusan BPN. Pada sisi lain, BPN hanya menguasai dokumen, tetapi lahan telah menjadi hak privat sampai selesai masa berlaku selesai,” katanya.
Menurut Sadino, salah satu cara yang bisa dilakukan BPN dalam menghadapi tuntutan masyarakat yakni melakukan evaluasi jika pemanfaatan lahan tidak sesuai atau terjadi penelantaran lahan.
Sadino mengingatkan, pemerintah punya kewenangan untuk menolak membuka seluruh data HGU karena tata cara di undang-undang perkebunan sangat ketat untuk mendapatkan HGU.