Pemerintah Indonesia diminta tidak gentar menghadapi tekanan dunia internasional kepada sawit. Tekanan dan hambatan dagang tersebut sejatinya akal-akalan negara barat untuk mematikan potensi sawit dalam memenuhi kebutuhan minyak nabati global.
Pengamat politik J. Kristiadi mengatakan persoalan sawit di pasar internasional adalah persoalan kepentingan. Negara maju menggunakan segala instrumen untuk menghambat sawit. Negara maju membuat akal-akalan dengan macam-macam skema sertifikasi.
“Antar negara tidak ada pertemanan, yang ada persaingan. Sehingga Indonesia harus menggunakan semangat keindonesiaan untuk memperjuangan sawit di kancah internasional,” kata Kristiadi yang hadir menjadi pembicara Dialog Perkebunan di Instiper Pertanian Yogyakarta, dalam rangka Hari Perkebunan, 10 Desember 2017.
Pembicara dalam dialog perkebunan yang digelar dalam rangka Hari Perkebunan ke-60 menghadirkan pembicara antara lain Bambang (Dirjen Perkebunan), Edhy Prabowo (Ketua Komisi IV DPR), J.Kristiadi (Pengamat Politik), dan Dr. Purwadi (Rektor Instiper).
Bentuk nyata tekanan tersebut adalah resolusi sawit yang diusulkan Parlemen Uni Eropa pada April 2017. Ketua Komisi IV DPR Edhy Prabowo menambahkan, Indonesia tidak gentar dengan resolusi sawit Uni Eropa, karena pasar ekspor sawit ke Uni Eropa hanya 15% dari total volume nasional. “Apabila kita hentikan ekspor minyak sawit ke Eropa, saya yakin mereka akan kewalahan. Meskipun mereka mengakui impor sawit di Indonesia terus meningkat mencapai US$ 2 miliar,” katanya.
Menurutnya, resolusi sawit Uni Eropa adalah bukti bahwa antar negara tidak ada saling membantu. “Resolusi sawit Uni Eropa membuat rakyat Indonesia susah. DPR Indonesia telah minta kepada parlemen Uni Eropa untuk membatalkan resolusi tersebut,” kata Edhy.
Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengatakan bahwa regulasi harus mempertimbangkan persaingan dalam konteks pasar global. Sebab, Indonesia bisa kehilangan momentum untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati masyarakat dunia. Salah satu, pengamat minyak nabati yaitu James Fry meragukan kemampuan program intensifikasi sawit Indonesia untuk memenuhi pertumbuhan kebutuhan minyak makan global.
“Itu sebabnya perluasan lahan tetap dibutuhkan untuk menyuplai permintaan dunia. Jika kesempatan ini tidak diambil, maka produsen kedelai bisa mengambil peluang ini. Apakah indonesia rela menjadi nice country dengan merelakan ratusan juta hektare lahan dipakai untuk kedelai?” ujar Joko.
Joko menegaskan bahwa Indonesia harus pintar memainkan diplomasi di dunia internasional. Sebab, negara lain juga memainkan kepentingan dagang mereka. “Kita tidak harus mentolerir negara lain. Karena bangsa lain juga tidak toleransi, yang ada perang kepentingan. Diplomasi iya tapi berbaik hati nanti dulu kalau menyangkut perdagangan,” ujarnya.
Selain itu, pendapatan sektor perkebunan ini telah melebihi sektor minyak dan gas (migas) yang nilainya hanya Rp365 triliun. Dari 127 komoditas perkebunan, hanya 15 komoditas saja yang menghasilkan devisa.