Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) melaksanakan pengukuhan pengurus, dewan pengawas, dan dewan pembina periode 2018-2023, di Hotel Pullman Jakarta, pada 21 April 2018. Total jumlah kepengurusan periode ini mencapai 80 orang.
“Tim formatur menyelesaikan tugas kepengurusan yang telah dikukuhkan. Hari ini, kita melantik diri kita sendiri karena organisasi ini independen,”kata Joko Supriyono, pada pengukuhan Pengurus Pusat, Dewan Pengawas dan Dewan Pembina Gapki periode 2018-2023 di Hotel Pullman, Jakarta, Sabtu (21 April 2018).
Joko Supriyono menyebutkan ada tiga aspek yang menjadi pertimbangan pemilihan pengurus periode ini. Pertama, kompetensi karena program kerja cukup berat dalam beberapa tahun mendatang.
Kedua, pertimbangan kontribusi dengan melihat peranan dalam kepengurusan sebelumnya. Ketiga adalah keterwakilan untuk mengakomodir anggota perusahaan sawit GAPKI. “Pada dasarnya kami ingin merangkul semua dann tetap perlu melibatkan anggota dalam organisasi ini,” ujar Joko.
Joko Supriyono menyebutkan Gapki berdiri pada 1981 yang telah menjalankan peranannya dalam pembangunan industri sawit. Dari kantor yang berada di Medan selanjutnya GAPKI berkembang seiring pertumbuhan perkebunan sawit di Indonesia. Lalu GAPKI pindah ke Jakarta pada 2008 dan membentuk cabang di provinsi penghasil sawit. Saat ini, GAPKI sudah menyebar di 13 provinsi yang menjadi perwakilan asosiasi di daerah.
Dalam kepengurusan kali ini, kata Joko Supriyono, ada hal menarik bahwa peminat untuk menjadi pengurus GAPKI sangat tinggi. “Bahkan tim formatur kewalahan akibat permintaan menjadi pengurus melebihi kebutuhan sesuai desain organisasi,” jelas Joko.
Indonesia harus bisa memanfatkan potensi permintaan 5 juta minyak nabati per tahun hingga 2025 untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di Indonesia, kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono.
“Peluang pertumbuhan permintaan tersebut bisa direalisasikan dengan mengamankan, menjaga dan mengembangkan pasar,” kata Joko Supriyono. “Selain dukungan pemerintah, perlu kerja keras semua pemangku kepentingan untuk memanfaatkan momentum tersebut.”
Menurut Joko, secara nasional, produktivitas sawit di Indonesia belum maksimal. Mengutip data Masyarakat Sawit Indonesia (Maksi) menunjukkan produktivitas nasional sawit Indonesia berada pada peringkat ke 4 di bawah Malaysia, Kolombia dan Thailand.
“Indonesia hanya lebih baik dari Nigeria. Bahkan production cost US$/ton CPO perusahaan Indonesia yang terbaik masih kalah dengan perusahan Malaysia yang terjelek,” kata Joko.
Faktor daya lain yang dihadapi Indonesia adalah tingginya biaya akibat berbagai hal seperti infrastruktur, perizinan, biaya social dan keamanan. Hal itu sulit dihindari namun juga sulit dipecahkan. Hal inilah yang mungkin dikeluhkan Presiden Jokowi.
Padahal,berbagai regulasi dan perizinan yang sudah diperbaiki, namun investasi tidak juga berjalan dengan cepat.
“Persoalan ini, terutama terjadi di Pemerintah Daerah. Kita sudah comply dengan perizinan tapi masih disalahkan. Kita sudah memenuhi semua persyaratan sesuai prosedur, tapi izin tidak kunjung terbit,” kata Joko.
Pasar yang tidak ramah juga masih akan membayangi industri sawit kedepan. Bahkan, pada tahun 2017, India yang merupakan pasar ekspor terbesar Indonesia memberlakukan hambatan tarif yang cukup besar.
Begitu juga dengan pasar Eropa sebagai market share yang cukup besar dari waktu ke waktu selalu memunculkan berbagai hambatan perdagangan baik yang bersifat tarif maupun non tarif.