Kemitraan untuk mendorong pertumbuhan sekaligus pemerataan kesempatan ekonomi dalam perkebunan sawit serta mendorong pertumbuhan ekonomi daerah
Pola Kemitraan pada sub sektor perkebunan sawit menjadi poin penting yang harus dijalankan secara maksimal untuk mendukung pembangunan kelapa sawit berkelanjutan atau lestari. Untuk itu, mengingat kemitraan sangat penting maka perlu ada skema kemitraan yang jelas untuk petani dan stakeholders.
Pola kemitraan perkebunan kelapa sawit menjadi suatu kelembagaan yang dibangun untuk mensinergikan petani dengan perusahaan perkebunan sawit. Tujuannya tak lain untuk mendorong pertumbuhan sekaligus pemerataan kesempatan ekonomi dalam perkebunan sawit serta mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Seperti diketahui, keberadaan petani sawit ada di lokasi remote. Untuk itu, penting pola kemitraan dibangun dan dikembangkan supaya terjadi pertumbuhan ekonomi sehingga dapat mengurangi angka kemiskinan di daerah.
Dono Boestami Direktur Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menyampaikan secara historis kemitraan antara unsur masyarakat bukan hal yang baru. Sejak tanaman perkebunan menjadi usaha masyarakat pedesaan telah terjadi kerjasama kemitraan antara masyarakat yang mampu menguasai aset lahan dan modal financial dan lapisan masyarakat tidak mampu yang hanya menguasai tenaga kerja.
“Kemitraan selain mempercepat proses pembangunan kebun juga menciptakan masyarakat desa pemilik kebun. Dengan formula bagi kebun terbuka jalan sosial vertical dan bagi buruh tani atau petani penggarap yang miskin dan petani pemilik yang mandiri dan sejahtera,” ujar Dono, saat acara diskusi yang diadakan Riset Perkebunan Nusantara (RPN) dan BPDP-KS bertemakan “Pola Kemitraan Antara Petani dan Stakeholder yang Potensial”, akhir Agustus lalu, di Yogyakarta.
Lebih lanjut, Dono mengatakan pada era 80an para pendahulu telah membahas kemitraan dengan perusahaan besar dengan petani melalui program Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Meskipun program ini menyisakan beberapa persoalan tetapi di sisi lain banyak petani plasma yang mampu memperluas kebunnya secara swadaya dengan kondisi kebun yang relatif baik.
Mengingat belum maksimalnya pola kemitraan antara petani sawit dengan perusahaan sawit. Untuk itu, RPN menyelenggara diskusi secara berkala mengusung tema “Kemitraan antara Petani dan Stakeholders yang Potensial” supaya ada titik temu antara petani dan pemangku kepentingan di sektor perkebunan sawit.
Gede Wibawa, Direktur PT RPN mengatakan, pihaknya mengadakan diskusi itu diharapkan dapat mengetahui potensi serta hambatan dalam menjalankan kemitraan petani serta perusahaan sawit. Dan, berupaya menyelesaikan hambatan yang dihadapi replanting. Prioritas masalah replanting yang perlu diselesaikan adalah legalitas lahan.
Hal serupa juga diutarakan Dono Boestami diskusi tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesepahaman potensi dan hambatan dalam menjalankan kemitraan antara petani sawit dengan para mitranya. Kemudian, memperoleh kesepakatan bagaimana memaksimalkan kedua belah pihak serta bagaimana mengatasi hambatan-hambatan agar kemitraan mampu meningkatkan kinerja industri sawit serta memberi manfaat maksimal bagi para pihak yang bermitra.
Petani dan Korporasi Bersinergi
Dalam pandangan Dono, dalam masyarakat industri kepemilikan aset industri dan akses pada pasar tidak merata maka hadirnya kemitraan antara komponen masyarakat menjadi kebutuhan. Masyarakat komponen industri sawit baik yang kuat maupun yang lemah, perusahaan maupun petani bersinergi membangun industri sawit yang produktif dan berkelanjutan. Sehingga memberikan manfaat maksimal bagi semua pihak khususnya petani swadaya.
Selanjutnya, Dono mengatakan industri sawit telah sejalan dengan fokus pembangunan pemerintah saat ini yaitu kebijakan pemerataan ekonomi yang bertumpu pada tiga pilar yakni lahan, kesempatan dan Sumber Daya Manusia (SDM). Keberhasilan kemitraan petani dengan perusahaan selaras dengan berkelanjutan dengan konsep SDG’s. Baik yang terkait dengan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.
Untuk membuktikan kesuksesan kemitraan, BPDPKS dengan Lembaga Pendidikan tinggi (Universitas Gajah Mada) telah melakukan penelitian terkait kemitraan khususnya dalam hal pengaruh kemitraan terhadap distrorsi harga Tandan Buah Segar (TBS) yang dijual oleh petani. Penelitian dilakukan di Kabupaten Siak. Hasilnya, ada lima pola kemitraan dari tiga janjang menjadi enam janjang. Semakin panjang mata rantai distorsi maka semakin besar, sebagai contoh distorsi harga TBS dari petani swadaya yang tidak memiliki mitra paling tidak oppotunity lostnya rata-rata 230 kg.
Sementara itu, terkait dengan kemitraan petani sawit dan Stakeholders, Bayu Krisnamukti, Pengamat Sawit yang hadir pada acara diskusi juga menyampaikan esensi dari kemitraan semua itu teman dan saling membutuhkan.
“Di sektor sawit ada empat ujian kemitraan. Pertama yaitu kegiatan proses produksi dan rantai pasok dari sawit. Saat petani menghasilkan TBS dan TBS harus diolah di PKS menghasilkan CPO dan seterusnya. Kedua, pada saat replanting, dalam replanting tidak cukup kemitraan sederhana karena ada investasi awal. Investasi awal jaminan benih dan mutu benih selain itu, urusan teknis membongkar pohon dan membuat lubang membutuhkan kemitraan yang serius. Ketiga, perubahan menuju sustainability. Dan, keempat bermitra ketika menghadapi serangan bersama,” pungkas Bayu.
Wilistra Danny selaku Asisten Deputi Perkebunan dan Holtikultura, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengatakan tujuan akhir dari pengembangan dan pembangunan sawit adalah terwujudnya sawit berkelanjutan. Sebenarnya apa yang ingin diwujudkan dalam pembangunan sawit berkelanjutan utamanya yaitu peran strategis ekonomi, sosial dan lingkungan kelapa sawit dalam membangun Indonesia termasuk membangun pembangunan ekonomi nasional jangka panjang.