JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Kementerian Luar Negeri mengajak berbagai pihak untuk perangi kampanye negatif industri sawit. Caranya menyaring kampanye negatif yang dinilai tidak memiliki landasan ekologis dan ilmiah tersebut, sehingga dunia internasional dapat memandang bisnis ini secara positif.
Pertama, dengan menginformasikan keunggulan kelapa sawit dibandingkan minyak nabati lain kepada publik.
“Kita harus menjawab tantangan kampanye negatif dari luar bahwa sawit dari buah sampai ampasnya bermanfaat. Dalam proses penanaman, sawit lebih efiensi hanya memerlukan 6% lahan perkebunan sedangkan minyak nabati lain seperti Soyabean 44%, Canola 14% dan Sunflower 10%. Dengan hanya memakai 6% area, sawit berkontribusi 40% memenuhi permintaan minyak nabati dunia,” kata Adam M. Tugio, Director of North Amerika and Central America, Ministry of Foreign Affair dalam diskusi di Jakarta, pada Kamis (27/7).
Hingga saat ini, kelapa sawit banyak dimanfaatkan sebagai bahan utama kosmetik wanita. Kosmetik terkenal seperti Laurier bahkan, belum dapat temukan bahan baku pengganti dari sawit ini.
“Produsen ini saja sama kesulitan mencari penggantinya, kelapa sawit memang sulit tergantikan,” ungkapnya.
Kedua, dia meminta ada tindakan cepat terhadap kampanye yang dilakukan pihak yang menentang industri sawit. Melalui dialog dengan LSM lingkungan, kajian ilmiah tentang kelapa sawit, melakukan penjajakan terhadap supermarket dan mengambil tindakan hukum.
“Selain itu bisa mengajak para ahli untuk meng-counter narasi dan melakukan kajian bersama,” terangnya.
Menurutnya, kampanye ini sebagai perang dagang antara negara maju dan negara berkembang. Permintaan minyak nabati dari Amerika dan Eropa kalah saing dengan permintaan sawit global.
”Negara berkembang seperti Afrika, Malaysia dan Indonesia berhasil menaikkan ekonomi dengan industri sawit. Sedangkan Eropa sebagai eksportir bunga matahari dan Amerika eksportir soyabean cendrung turun. Sehingga perekonomian mereka terganggu karena sawit,” pungkasnya. (Ferrika Lukmana)