Penulis : Rahmat Kurnaiwan Ritonga (Mahasiswa Universitas Riau)
Industri sawit telah menjadi industri strategis dalam pembangunan nasional bahkan dunia. Industri sawit perlu dilihat dan ditempatkan sebagai bagian solusi dari pencapaian SDGs Indonesia maupun dunia. Dalam proses pencapaian tujuan-tujuan mulia dari SDGs tersebut, industri sawit adalah aktor penting dan bukan sebagai objek yang harus “dihakimi” dengan ukuran-ukuran SDGs. Sebagai platform bersama, semua pelaku bisnis, sektor, negara/pemerintah yang ada di planet Bumi merupakan aktor mewujudkan tujuan-tujuan SDGs. Apa kontribusi (bukan apa yang tidak dilakukan) perusahaan, sektor/industri, daerah, negara pada pencapaian tujuan-tujuan SDGs, menjadi pertanyaan yang patut didiskusikan.
Dalam proses pencapaian tujuan-tujuan mulia dari SDGs tersebut, industri sawit adalah aktor penting dan bukan sebagai objek yang harus “dihakimi” dengan ukuran-ukuran SDGs. Sebagai platform bersama, semua pelaku bisnis, sektor, negara/pemerintah yang ada di planet Bumi merupakan aktor mewujudkan tujuan-tujuan SDGs. Apa kontribusi (bukan apa yang tidak dilakukan) perusahaan, sektor/industri, daerah, negara pada pencapaian tujuan-tujuan SDGs, menjadi pertanyaan yang patut didiskusikan.
Memposisikan industri sawit sebagai aktor SDGs selain secara built-in dapat menghadirkan solusi, juga dapat memperkuat industri sawit itu sendiri. Platform SDGs sebagai norma global (global value) baru, yang diakui secara internasional, perlu dimanfaatkan industri sawit sebagai upaya meningkatkan keberterimaan industri sawit secara internasional melalui kontribusinya pada SDGs. Dalam kaitan dengan SDGs ini menarik untuk mengingat kembali apa yang dideklarasi oleh Komite Menteri-Menteri Pertanian negara-negara OECD tahun 2001 (OECD, 2001) bahwa pertanian (termasuk perkebunan) memiliki multifungsi (multifunction) dalam ekosistem global.
Para ahli-ahli pertanian seperti Huylenbroeck, et.al. 2007 kemudian merinci lebih detail lagi multifungsi pertanian menjadi empat fungsi dalam ekosistem yakni fungsi ekonomi (white function), fungsi sosial budaya (yellow function/services), pelestarian tata air (blue services), dan fungsi pelestarian sumberdaya alam (green function). Oleh karena itu dalam artikel ini akan dibahas mengenai energi terbarukan yang bisa dimanfaatkan dari tanaman kelapa sawit.
Indonesia sebagai bangsa yang besar dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa, Indonesia menghadapi masalah energi yang cukup mendasar. Sumber energi yang tidak terbarukan (non-renewable) tingkat ketersediaannya semakin berkurang. Sebagai contoh, produksi minyak bumi Indonesia yang telah mencapai puncaknya pada tahun 1977 yaitu sebesar 1.7 juta barel per hari terus menurun hingga tinggal 1.125 juta barel per hari tahun 2004. Di sisi lain konsumsi minyak bumi terus meningkat dan tercatat 0.95 juta barel per hari tahun 2000, menjadi 1.05 juta barel per hari tahun 2003 dan sedikit menurun menjadi 1.04 juta barel per hari tahun 2004. ( Media Indonesia, 8 September 2004 dan Kompas, 27 Mei 2004 ).
Dalam upaya mengatasi masalah defisit energi tersebut, pengembangan sumber energi terbarukan merupakan suatu keharusan. Terhadap tuntutan ini, industri kelapa sawit mempunyai potensi kontribusi yang sangat besar. Produk utama kelapa sawit yaitu minyak sawit (CPO) kini sudah mulai dikembangkan sebagai sumber energi terbarukan dengan memprosesnya menjadi biodiesel, seperti yang sudah dikembangkan di Malaysia. Produk samping kelapa sawit seperti cangkang dan limbah pabrik CPO juga potensial sebagai sumber biomassa yang dapat dikonversi menjadi energi terbarukan. Alternatif ini memiliki beberapa kelebihan seperti sumber energi bersifat renewable sehinggabsia menjamin kesinambungan produksi, pengembanganya ramah lingkungan dan optimasi pemanfaatan sumberdaya dan meningkatkan nilai tambah.
Kebun dan pabrik kelapa sawit menghasilkan limbah padat dan cair dalam jumlah besar yang belum dimanfaatkan secara optimal. Serat dan sebagian cangkang sawit biasanya terpakai untuk bahan bakar boiler di pabrik, sedangkan tandan kosong kelapa sawit (TKKS) yang jumlahnya sekitar 23% dari tandan buah segar yang diolah, biasanya hanya dimanfaatkan sebagai mulsa atau kompos untuk tanaman kelapa sawit (Goenadi et al., 1998).
Disamping menghasilkan minyak sawit, kelapa sawit juga menghasilkan biomas sawit seperti tandan kosong, cangkang, pelepah, batang dan lumpur sawit. Dari 11 juta hektar kebun kelapa sawit bisa mengahasilkan 182 juta ton biomas kering. Dengan adanya teknologi fermentasi dari biomas tersebut bisa dihasilkan 27 juta tonbioetanol atau biopremium. Selain itu juga dengan teknologi biogas bisa memanfaatkan kolam lumpur sawit menjadi biogas pengganti gas alam dan menghasilkan biolistrik.
Dengan adanya keunggulan dan kesiapan daripada industry perkebunan kelapa sawit sebagai energi terbarukan, seharusnya pemerintah tidak perlu lagi mencari alternatif lain untuk cadangan energi di negeri ini. Pemerintah hanya perlu memiliki komitmen yang tinggi dan konsisten terhadap industri ini dan kerja keras agar nantinya industry ini bisa dikembangkan.
Seperti sekarang pemerintah sudah mulai dengan membuat biodiesel B-20. Yang mana setiap liter dari bahan bakar solar yang ada di SPBU dicampur 20 persen bahan biodiesel. Makanya di SPBU sekarang bukan lagi namanya solar melainkan biosolar. Dan insya allah pemerintah juga berencana di tahun 2020 akan ditingkatkan lagi menjadi B30 dan setiap tahunnya akan ditingkatkan terus dan semoga saja bahan bakar premium juga ikut menggunakan biodiesel tersebut kedepannya.
Berdasarkan penjelasan diatas bisa disimpulkan bahwa sebenarnya Indonesia sudah mampu menciptakan energi terbarukan dari industri kebun kelapa sawit ini. Namun tinggal komitmen dan fokus untuk pengembangannya yang masih kurang dan dukungan daripada pemerintah yang masih kuranag. Padahal dengan ditemukannya energi terbarukan ini akan banyak yang terlibat didalam proyek ini, seperti terbukanya lapangan kerja baru sehingga masyarakat bisa memperoleh pekerjaan, meningkatkan dan membangun daerah tertinggal dan pada akhirnya akan mengurangi tingkat kemiskinan di negeri ini.
Daftar Pustaka
Goenadi, D.H, Y. Away, Sukin, Y., Yusuf, H. H., Gunawan & Aritonang, P. (1998). Pilot-Scale Compossing of Oil Palm Using ligno-cellulosic Decompossing Bioactivator. 1998 International Oil Palm Conference. Nusa Dua Bali, September 23-25, 1998.
Loebis, B. & Tobing, P.L. (1989). Potensi pemanfaatan limbah kelapa sawit. Buletin Perkebunan. 20: 49-56.