Pertama, Bagian dari strategi persaingan minyak nabati global, dan Kedua, Pengalihan tanggung jawab peningkatan emisi GHG global dari negara Barat ke negara berkenbang termasuk Indonesia.
Motif persaingan minyak nabati global tersebut merupakan kelanjutan dari gerakan sejak tahun 1980-an. Peningkatan produkisi minyak sawit global khususnya dari Indonesia telah mengeser dominasi minyak kedelai, minyak bunga matahari dan minyak rapeseed dalam produksi dan komsumsi minyak nabati global. Produsen utama minyak kedelai adalah Ameriaka Serikat, sementara produsen minyak bunga matahari dan rapeseed adalah EU-28.
Penurunanan pangsa pasar minyak kedelai, rapeseed dan bunga matahari di pasar minyak nabati global, bagi Amerika Serikat dan EU-28 bukan hanya bisnis semata tetapi nasib subsidi besar yang diberikan EU-28 dan Amerika Serikat kepada petaninya setiap tahun. Oleh karena itu selain asosiasi produsen minyak nabati kedua negara tersebut, kedua pemerintah kedua negara tersebut juga ikut melindungi petanianya melalui kebijakan pembatasan impor dan menekan produsen minyak nabati pesaing mereka yakni minyak sawit.
Motif pengalihan tanggung jawab peningkatan emisi GHG global dari negara Barat (sebagai pengemisi GHG terbesar) ke negara berkembang, tampaknya masuk akal sebagai konsekwensi ketidal relaan masyarakat negara-negara Barat menurunkan komsumsi/tingkat kesejahteraanya agar emisi GHG berkurang. Masyarakat negara-negara Barat memiliki pendapatan per kapita lebih dari 10 kali lipat dari pendapatan per kapita Indonesia, mengkomsumsi pangan dan energi perkapita juga lebih dari 10 kali lipat dari komsumsi per kapita pangan dan energi Indonesia. Jika ingin menurunkan emisi GHG global, maka komsumsi per kapita energi dan pangan negara-negara Barat tersebut harus diturunkan.
Pada kenyataanya masyarakat negara-negara Barat tidak bersedia menurunkan komsumsinya dan memilih untuk mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada negara berkembang termasuk Indonesia. Dengan memanfaatkan negera-negara berkembang agar menangung tanggung jawab tersebut. Kemampuan finansial yang di miliki Barat dengan mudah “ men-services” oknum pejabat dan bahkan ahli-ahli dinegara berkembang agar negera-negara berkembang bersedia menanggung kesalahan masa lalu Barat yang telah menghabiskan hutannya (termasuk penghuninya) dan mempertahankan emisi GHG mereka sendiri agar kesejahteraan tidak turun.
Sumber : Mitos vs Fakta, PASPI 2017