“Industri sawit harus diselamatkan karena komoditas ini sangat strategis bagi Indonesia. Mana ada komoditas pertanian sebesar ini,” urai Prof. Bungaran Saragih, Pengamat Perkelapasawitan melalui sambungan telepon, di awal Juli 2022.
Kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO) yang melampaui US$1.900/ton menjadi peluang bagi negara produsen untuk meningkatkan devisa di dalam negeri. Begitu pula petani dan pelaku industri sawit yang mengharapkan bertambahnya pendapatan. Setelah beberapa tahun sebelumnya, harga CPO yang relatif rendah.
Tetapi, dikatakan Prof. Bungaran Saragih, industri sawit menjadi ironi yang membuang kesempatan untuk meningkatkan sumbangan lebih besar industri sawit kepada bangsa dan negara serta kesejahteraan petani maupun masyarakat.
“Situasinya sekarang berubah menjadi sangat rumit. Harusnya tidak perlu terjadi apabila pemerintah bisa membuat kebijakan yang lebih rasional dan cerdas,” ujar Bungaran.
Lalu faktor apa yang membuat situasi industri sawit seperti sekarang? Dijelaskan Bungaran bahwa semenjak beberapa tahun terakhir ini permintaan (demand) minyak nabati di pasar global bertumbuh lebih cepat dari pertumbuhan penawaran (suplai). Merujuk data OECD-FAO bahwa pertumbuhan produksi minyak nabati reratas ebesar 2,36% per tahun. Sementara itu, permintaan CPO tumbuh lebih besar 2,75% per tahun.
Bungaran menuturkan kenaikan permintaan ini disebabkan oleh pertambahan penduduk, peningkatan kesejahteraan global, dan penggunaan baru minyak nabati. Penggunaan minyak nabati telah meluas kesegmen lain, tidak saja bidang pangan dan pakan tetapi juga untuk energi baru terbarukan. Di Indonesia, penggunaan biodiesel telah meningkat dalam satu dekade terakhir. Mulai dari mandatori biodiesel B5, B10, sampai kepada B30.
Dari data Kementerian ESDM RI, realisasi konsumsi biodiesel terus meningkat setiap tahun. Pada 2019, konsumsi biodiesel sebesar 6,39 juta kiloliter. Selanjutnya terus meningkat menjadi 8,43 juta kiloliter pada 2020 dan 8,44 juta kiloliter pada 2021.
“B30 Itu smart policy dari pemerintah, yang patut diberi acungi jempol. Ketika tahun 2015 harga CPO jatuh rerata 520 dolar per ton, lalu dibuatlah mandatori biodiesel. Tujuan program ini mengangkat harga CPO di dalam dan luar negeri,” jelas Bungaran.
Memang di satusisi, penggunaan minyak sawit untuk biodiesel yang besar di dalam negeri ini berdampak kepada suplai CPO di pasar global. Akibatnya, penawaran minyak sawit global sulit untuk mengimbangi pertumbuhan permintaan. Lambat laun suplai sawit Indonesia ke pasar minyak nabati dunia berkurang secara signifika noleh karena kebijakan biodiesel dalam negeri.
“Dampak dari berkurangnya penawaran minyak sawit adalah meningkatnya harga internasional. Karena kenaikan harga minyak nabati termasuk harga CPO di pasar internasional, maka berimbas pula kepada bahan baku minyak goreng di dalam negeri yang menjadi naik. Dampak selanjutnya adalah minyak goreng harganya juga naik,” jelas Bungaran.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 129)