Dr. Purwadi, Direktur Pusat Kajian Kelapa Sawit Instiper menyatakan petani menjadi pelaku usaha yang
paling awal dan secara instan berdampak dari
kebijakan larangan ekspor ini, bahkan
dampaknya lebih dulu terjadi sebelum
kebijakan resmi berlaku.
Berkah harga tinggi TBS sawit yang dirasakan sebelum lebaran kini menjadi pil pahit bagi petani. “Seminggu sebelum lebaran, saat petani sedang ingin menjual
panen sawitnya untuk merayakan lebaran, kok
harga terjun bebas dan itu akibat kebijakan
instan seperti petir di musim kemarau yang
mestinya tidak ada petir,” ujarnya.
Dampak ekonomi paling dirasakan petani karena harga TBS sawit anjlok 75%. Imbasnya, petani harus nombok untuk menutupi biaya pokok produksi.
Selain itu, kebun sawit petani terancam mengalami penurunan produksi dalam jangka panjang. Lantaran harga TBS tidak lagi menarik. Dr. Purwadi memberikan uraian panjang mengenai dampak larangan ekspor dari aspek ekonomi, sosial, dan Agronomi bagi perkebunan sawit petani. Berikut ini petikan wawancara kami:
SI : Bapak selalu menyatakan bahwa petani menjadi korban secara langsung dari kebijakan larangan ekspor sawit dan beberapa industri turunannya. Apakah ini juga akan berdampak pada jangka panjang?
PW: Betul, dampak ini dirasakan secara
langsung dan akan berdampak jangka
panjang jika masalah ini berlarut dan lama.
Saya mencoba untuk memberikan perspektif
lain, mengapa petani saat ini yang paling
lantang berteriak adanya larangan ekspor.
Pertama, petani menjadi pelaku usaha yang
paling awal dan secara instan berdampak dari
kebijakan larangan ekspor ini, bahkan
dampaknya lebih dulu terjadi sebelum
kebijakan resmi berlaku. Coba, baru
diumumkan telah membuat “psikologi pasar”
langsung “down” dan langsung berdampak
pada para pelaku usaha dengan cara
meningkatkan nilai resiko bisnisnya. Apa yang
terjadi harga langsung terkoreksi antara Rp
500 – Rp 1000/kg TBS, dan 4 hari setelahnya,
atau tepatnya setelah diumumkan kepastian
pemberlakuan kebijakan itu, harga langsung
turun Rp 1.000–Rp 1.500/kg TBS, dan
selanjutnya ada yang penurunan harga
mencapai 60 % dari harga sebelumnya
bahkan berlanjut kepada pengurangan atau
penghentian pembelian TBS oleh Pabrik
Kelapa Sawit.
SI : Lalu bagaimana dampak selanjutnya?
PW: Mari mencoba merasakan kalau menjadi
Petani. Pertama, sejak sekitar 6 bulan lalu
petani memperoleh berkah dari harga TBS
yang terus naik dan sangat tinggi akibat
kenaikan harga CPO dan minyak nabati di
pasar dunia. Namun seminggu sebelum
lebaran, saat petani sedang ingin menjual
panen sawitnya untuk merayakan lebaran, kok
harga terjun bebas dan itu akibat kebijakan
instan seperti petir di musim kemarau yang
mestinya tidak ada petir. Sebuah lebaran yang
kurang bisa dirayakan.
Kedua, selama beberapa bulan terakhir di
desa-desa penghasil sawit, setiap hari
sales-sales lalu lalang menawarkan kredit,
mobil, motor, TV, HP dan peralatan rumah
tangga lain. Sebagain mereka tergiur untuk
membeli dengan cara “kredit”, saat ini jadi
gagal bayar?
Ketiga, saat ini bulan-bulan mulai panen raya,
bahkan petani sawit memperoleh berkah dari
Tuhan yaitu kondisi iklim berupa curah hujan
yang cukup sepanjang tahun di 2020 dan
2021, yang berdampak produksi yang
meningkat sekitar 10%. Namun produksi tidak
bisa dilakukan panen optimal karena
penjualan “seret dan bahkan ada yang macet”
dan harga yang jauh dari harga yang
seharusnya dinikmati seperti petani-petani di
negara tetangga. Sungguh menimbulkan
“ke-irian” yang luar biasa. Berkah produksi
melimpah yang menjadi “muntah” kurang
atau tak terbeli dan harga murah.
Keempat, panen yang melimpah harga yang
baik, sebetulnya kesempatan bagi petani
untuk melakukan pemeliharaan yang intensif
dengan pemupukan yang lebih banyak, karena
tanah akan defisit hara disebabkan panen
melimpah saat ini. Namun apa yang terjadi?
Panen sulit terjual, harga rendah, pendapatan
rendah bahkan nol, dan bersamaan itu harga
pupuk di tingkat petani naik sekitar 100 %?
Kenaikan harga pupuk yang sangat tinggi ini
selain tidak terbeli oleh petani, juga
berpotensi beredarnya “pupuk palsu”. Ibarat
sudah jatuh, tertimpa tangga”.
Kelima, petani akan mengabaikan
pemeliharaan tananam termasuk pemupukan,
dan akan berdampak jangka panjang. “Berkah
Tuhan diberikan produksi melimpah, namun
menjadi muntah, harga melemah, saya
khawatir petani menyerah atau akan marah”.
SI: Seperti apa dampak jangka panjangnya apabila persoalan ini tidak segera diselesaikan?
PW: Dampak jangka panjang terjadi jika
kebijakan ini berlarut dalam jangka panjang.
Dalam waktu sebulan petani sudah melemah,
dalam 3 bulan petani menyerah.
Jika petani menyerah, maka tidak akan
melakukan pemeliharaan sama sekali dan
akan berdampak selama 2 tahun setelahnya.
Sawit harus dipanen setiap 2 minggu sekali,
buah sedang melimpah, kalau tidak dipanen
buah akan busuk, pelepah tidak di potong,
pohon akan rusak, biaya pemeliharaan akibat
ini bisa mencapai dua kali lipat saat
pemeliharaan selanjutnya, ini barangkali
akibat setelah satu bulan. Bagaimana jika
sampai 3 bulan? Petani tidak melakukan
pemupukan dan pembersihan gulma, dan
kurangnya atau tidak dilakukannya
pemupukan berdampak sampai dua tahun
mendatang. Apalagi saat ini berkah panen
raya yang lebih banyak dari sebelumnya,
dampaknya akan lebih besar dan lebih lama.
Hal ini juga akan berdampak pada penurunan
produksi nasional pada 2 tahun mendatang
karena perkebunan sawit rakyat berkontribusi
sekitar 35%-38%dari produksi nasional
SI : Solusi apa yang dapat dilakukan untuk membantu petani ?
PW: Pemerintah harus melindungi petani dengan empat tujuan . Pertama, harga yang tinggi akan
mengarahkan pada potensi beredarnya pupuk
palsu, pupuk yang tidak sesuai dengan
kandungan hara yang seharusnya.
Kedua, pemerintah melalui BPDP-KS dapat
memberikan bantuan utamanya “pupuk” dan
bantuan alat dan mesin pertanian yang
mampu membantu pemeliharaan kebun bagi
petani kecil yang rentan dari penurunan harga
TBS, sekaligus digunakan untuk melakukan
pendataan “data mining” bagi pengembangan
database petani sawit.
Ketiga, hasil “data mining” ini menjadi
database untuk pengembangan kelembagaan
petani sawit rakyat dan SIM kelembagaan
petani untuk memfasilitasi terbentuknya
kemitraan dengan Perkebun besar dan atau
Pabrik Kelapa Sawit.
Keempat, segera lakukan peninjauan kemabli
kebijakan larnagan ekspor dan membuat
kebijakan baru untuk pengembangan dan atau
pembukaan pasar utamanya ekspor.
SI : Kapan kemungkinan ada kebijakan baru?
PW : Lebih cepat lebih baik, harapannya tidak
lebih sebulan, ibaratnya biar petani tidak
pingsan, atau paling lambat 3 bulan sebelum
petani bangkrut. Mari kita berdoa agar para
pihak segera sadar saatnya saling membantu
sesama pelaku di industri sawit ini, utamanya
petani sawit rakyat. Bukankah gaduh minyak
goreng curah sudah mereda dan menuju
normal pada keseimbangan baru, jadi tidak
harus seperti dulu.