JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Dampak pemberlakuan European Union Deforestation-free Regulation (EUDR) atau Regulasi Bebas Deforestasi Uni Eropa bagi petani sawit memiliki dampak jangka pendek dan panjang. Direktur Sinarmas Agro Resourch and Technology Tbk. Agus Purnomo mengungkapkan dalam jangka pendek atau tahun-tahun pertama EUDR diberlakukan petani sawit tidak akan terlibat dalam rantai pasok perdagangan sawit ke Uni Eropa (EU).
“Bahkan, ada perusahaan yang sudah mengatakan terpaksa tidak mengikutkan kebun rakyat. Memang dalam jangka pendek pasar EU akan terpenuhi oleh perusahaan-perusahaan, tapi bagi petani sulit karena aspek legalitas dan aspek lainnya yang diminta EU,” ujar Agus Program Evening Up CNBC Indonesia, dikutip Senin (27/11/2023).
Dia mengatakan, sawit Indonesia yang masuk ke Eropa memang tidak terlalu besar, hanya sekitar 8-10 persen dari total produksi. Namun, ujar Agus dalam jangka panjang syarat yang diterapkan UE kemungkin akan diterapkan oleh negara-negara lain seperti di Tiongkok, India, Pakistan. Sebab, EU akan mensyaratkan tidak hanya pada industri sawit di Indonesia atau Malaysia, tapi EU juga akan mensyaratkan kepada produk bahan makan berbasis sawit yang diproduksi di Tiongkok, India dan negara-negara lainnya yang dijual ke EU.
“Jadi produk-produk yang dijual ke Eropa yang mengandung sawit meski kecil itu akan diwajibkan menunjukkan sawitnya tidak menyebabkan deforestasi. Sehingga akhirnya smallholder akan dirugikan dalam jangka panjang. Jika dalam jangka pendek mungkin yang terjadi pangsa pasar kita di Eropa berkurang dan itu mungkin akan diambil negara tetangga. Tapi dalam jangka panjang, dampak ekonominya kepada para pelaku yang kecil,” ungkap Agus.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Tauhid pemerintah harus menggenjot sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang saat ini masih minim diikuti oleh petani sawit mandiri.
“Yang perlu juga kita proses merevisi dan membuat ISPO sejalan tuntutan negara negara Eropa. Ini tidak mudah, karena konsekuensinya praktis di lapangan. Misalnya metodologi misalnya diterapkan pada produk produk yang kemudian bisa mengetahui geolokasi dari mulai tandan buah segar [TBS] diolah di pabrik kelapa sawit sampai kemudian dipecah di CPO yang lokasi kemungkinan sangat beragam dengan jenis industri yang berbeda,” ujar Ahmad.
Menurutnya, petani sawit perlu waktu yang lebih panjang untuk membenahi persyaratan yang dituntut EU. Sebab, saat ini kelembagaan petani sawit pun sangat lemah, sehingga kapasitas pengetahuan dan pembiayaan petani menjadi tantangan lainnya dan itu harus segera diselesaikan pemerintah Indonesia.
Lebih dari itu, Tauhid pun menilai pemberlakuan EUDR ini juga tidak lepas dari persaingan minyak nabati dengan sawit.
“Saya kira negosiasi tidak mudah dengan parlemen Eropa. Ini membutuhkan dukungan tidak hanya para pelaku usaha tapi stakeholder lain. Jadi negosiasi ini selalu menjadi tantangan paling berat. Karena Eropa juga punya market yang tersaingi oleh CPO kita baik itu vegetable oil, atau minyak minyak nabati lainnya. Dan itu pasti akan terus terjadi,” tandas Ahmad.
Penulis: Indra Gunawan