Oleh :Dr. Rio Christiawan,S.H.,M.Hum.,M.Kn.*
Pemerintah Indonesia akan mendapatkan bantuan dana dari pemerintah Norwegia sebesar US$ 800 Juta pada Juli 2018 nanti melalui kerjasama bilateral pengendalian iklim. Kerja sama itu sendiri telah ditandatangani pada era Presiden SBY yakni 2010 silam, artinya sudah 8 tahun silam. Teringat akan rekomendasi Badan Pembinaan Hukum Nasional 2007 yang lalu. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang menyebutkan bahwa penegakan atas peraturan perundangan lingkungan di Indonesia selalu bersifat insidental sebagai reaksi atas suatu hal, sifatnya formalitas dan sektoral.
Kerja sama Bilateral dengan skema Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) yang mengharuskan Indonesia melakukan konservasi hutan untuk menekan emisi karbon dan jika tercapai hutan yang lestari sehingga karbon (Co2) dapat terserap dengan maksimal sehingga pemanasan global dapat dihindari. Bentuk kerja sama skema REDD+ dipilih dengan pertimbangan Indonesia adalah negara dengan Hutan yang luas. Jika skema REDD+ dapat diaplikasikan maka Indonesia mendapat kompensasi sebesar US$ 200 juta pada tahap pertama da US$ 800 juta pada Juli 2018 yang akan datang.
Memang benarlah apa yang direkomendasikan oleh BPHN 2007 yang lalu, jika saja sejak kerja sama bilateral REDD+ ditandatangani pada 2010 yang lalu skema REDD+ segera dipersiapkan dan diimplementasikan serius maka kejadian kebakaran hutan dan lahan menahun dapat dihindari atau setidaknya dapat diminimalisir.Dalam hal ini jika dilihat dari aspek legislasi, kembalinya pada skema REDD+ setelah terjadi kebakaran hutan dan lahan dalam skala besar pada 2014 – 2016 yang lalu sehingga peristiwa tersebut menjadi sorotan dunia termasuk Norwegia.
Boleh dikatakan legislasi terkait REDD+ itu sendiri secara serius dilakukan pasca 2014. Untuk lebih jelasnya legislasi tersebut melalui PP Nomor 71 tahun 2014 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut yang tidak sempurna sehingga perlu disempurnakan melalui Peraturan pemerintah (PP) Nomor 57 tahun 2016 tentang Perubahan atas PP Nomor 71 tahun 2014. Pembentukan Badan Restorasi Gambut juga baru dilakukan 2016 yang lalu dengan diikuti beberapa Peraturan Menteri LHK yang bersifat fundamental pada 2017. Bisa kita bayangkan andai itu semua dilakukan sejak 2010 yang lalu.
REDD+ Sebagai Keadilan Korektif
REDD+ merupakan milestone penting bagi penegakan hukum di bidang lingkungan, sebab akan menstimulan pemerintah mengganti pola pendekatan Command & Control (C&C) yang sudah nyaman dilakukan yakni berikut Command dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah guna mengelola dan melindungi lingkungan hidup serta dalam bentuk perizinan yang diberikan oleh pemerintah kepada pemangku kepentingan untuk melakukan kegiatan usaha yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Dalam terminologi Control pada proses penegakan hukum lingkungan di Indonesia dapat dipahami sebagai bentuk reaksi dari pemerintah atas implementasi peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan perizinan yang diterbitkan oleh pemerintah.
REDD+ dapat dipersepsikan sebagai keadilan korektif pada sektor lingkungan hidup khususnya kehutanan. Dalam yurisprudensi penegakan hukum lingkungan keadilan korektif sudah dikenal sejak Putusan Hoge Raad tanggal 24 Mei 1918 yang menyatakan bahwa pengembalian pada keadaan semula adalah keputusan yang paling tepat.
Keadilan korektif dalam hal ini merupakan bentuk keadilan yang ditujukan sebagai upaya pemberian sanksi , pembebanan kewajiban pemulihan atau kewajiban melakukan kompensasi bagi mereka yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain , dalam konteks ini, mereka yang menimbulkan kerugian berarti memikul tanggung jawab untuk mengembalikan dampak akibat kerugian tersebut . Keadilan korektif menginginkan agar mereka yang menyebabkan terjadinya kerugian untuk memperbaiki kerugian yang terjadi tersebut. bahwa keadilan korektif adalah dasar penerapan polluter-pays principle.
Pada Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup masih terdapat beberapa poin kontradiktif. Setidaknya yang perlu diapresiasi adalah niat transparan yang menyatakan pengelaolaan dana lingkungan hidup termasuk dari donor akan dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU) yang kemudian akan mengelola dana lingkungan baik di dalam maupun pada pihak luar negeri. Namun soal dana penanggulangan pencemaran yang dimungkinkan berasal dari APBN ini yang dinilai kontradiktif dengan semangat penegakan hukum lingkungan dan akan membuat dana yang didapat melalui REDD+ tidak optimal.