JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Tahun ini adalah tahun terburuk Peremajaan Sawit Rakyat karena minimnya Rekomendasi Teknis (Rekomtek) yang diterbitkan Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perkebunan. Hal ini diungkapkan Rino Afrino, Sekjen DPP APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia) dalam FGD bertemakan “Perkembangan dan Prospek Lapangan Usaha Pertanian Kelapa Sawit di Wilayah Kalimantan’’ yang diselenggarakan Bank Indonesia Wilayah Kalimantan, Jumat (30 Desember 2022).
“Capaian PSR tahun 2022 menjadi sejarah terburuk. Realisasi program peremajaan sawit rakyat berada di titik terendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” ujar Rino yang menjadi pembicara dalam FGD ini.
Padahal, Program Peremajaan Sawit Rakyat dijadikan program strategis Presiden Joko Widodo semenjak 2018 untuk memperbaiki produktivitas sawit rakyat dan kesejahteraannya. Presiden menargetkan luas perkebunan sawit petani yang menjadi peserta PSR mencapai 180 Ribu hektare per tahun.
Tapi berdasarkan tabulasi sekretariat DPP APKASINDO, usulan PSR tahun di 2022 yang mendapatkan rekomtek dari Ditjenbun sekitar 17.908 ha (9,48%) dari total target tahun 2022 seluas 180 ribu hektare.
“Mirisnya beberapa provinsi gagal atau realisasi nol persen lantaran tidak mengikuti PSR, yaitu Provinsi Riau, Bengkulu, Banten, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Papua Barat, Papua,” urai Rino.
Untuk mengonfirmasi data rekomtek PSR, redaksi sawitindonesia.com telah menghubungi Hendratmojo Bagus, Direktur Tanaman Tahunan dan Semusim Kementerian Pertanian RI. Tetapi belum ada jawaban sampai berita ini diterbitkan.
Realisasi nol persen PSR diakui Vera Vigianti, Kabid Produksi Dinas Perkebunan Provinsi Riau disampaikan saat menjadi pembicara bertemakan “Problematika Perkebunan Sawit Rakyat di Riau”.
“Tahun 2022 untuk pertama kalinya Riau tidak mendapatkan realisasi. Ini karena petani harus mengikuti persyaratan cukup banyak dan menyulitkan,” ujar Vera.
Menurut Vera, program PSR yang sudah digulirkan sejak 2016 belum terealisasi maksimal di Riau. Dari target 20 ribu hektare, rata-rata realisasi luasan yang diremajakan hanya sekitar 30 persen dari alokasi setiap tahunnya.
Masalah kian pelik setelah lagi terbitnya dasar hukum PSR melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penelitian dan Pengembangan, Peremajaan, serta Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit.
Diakui Vera, pengajuan syarat PSR semakin pelik syarat yang harus diurus melewati antar lintas sektoral seperti Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian LHK dan instansi lainnya.
“Syarat terbaru yang harus dipenuhi petani adalah adanya surat keterangan bebas kawasan lindung gambut. Ini tentu semakin berat dipenuhi karena 60 persen lahan sawit memang berada di kawasan gambut,” ungkap Vera.
Di tempat terpisah, Ketua APKASINDO Provinsi Sumatera Utara, Ir. Gus Harahap dan Indra Rustandi Ketua DPW APKASINDO Kalimantan Barat mengakui buruknya capaian PSR di tahun ini dengan tolak ukur terbitnya Rekomtek yang pengusulan 2022.
Selain berubah-ubah, kata Indra Rustandi, juga cukup banyaknya persyaratan yang harus dilengkapi oleh petani sawit, sampai 38 persyaratan dan yang paling menghambat adalah persyaratan harus bebas gambut.
Lebih lanjut dikatakan Gus Harahap bahwa surat keterangan bebas gambut ini harus diurus ke Jakarta cq Direktorat Lingkungan Hidup (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Kalau surat bebas Kawasan hutan dan tidak tumpang tindih dengan perizinan masih bisa kami urus di BPKH Provinsi dan ATR BPN Kabupaten Kota. Namun secara umum penghambat utama capaian PSR ini adalah surat keterangan harus bebas gambut dan kebun sawit petani yang diklaim dalam Kawasan hutan,” lanjut Gus Harahap.