Baru sebulan dilantik, Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI aktif menggali persoalan di industri sawit. Mereka memanggil perwakilan petani, pelaku usaha, sampai pemerintah. Beragam rekomendasi muncul antara lain mempercepat peremajaan sawit rakyat dan pembentukan panitia kerja (panja) sawit.
Di penghujung November 2019, anggota Komisi IV DPR RI yang dipimpin Budisatrio Djiwandono, Wakil Ketua Komisi IV, meriung bersama perwakilan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), dan Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI, Kasdi Subagyono.
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Budisatrio Djiwandono menyampaikan, industri kelapa sawit di Indonesia menyangkut hajat hidup rakyat banyak, oleh sebab itu dia mendukung peran diplomasi parlemen untuk memerangi isu-isu negatif terhadap sawit.
“Tantangan yang dihadapi industri kelapa sawit adalah tantangan kita bersama, karena ini menyangkut 4,3 juta tenaga kerja langsung. Saya sepakat mengenai diplomasi atau peran parlemen dalam memerangi isu-isu negatif yang selalu terjadi pada industri kelapa sawit kita,” ungkapnya saat memimpin Rapat Dengar Pendapat (RDP).
Selesai Budisatrio Djiwandono membuka rapat. Selanjutnya giliran, Kasdi Subagyono, Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI, yang menjelaskan delapan tantangan industri sawit. Pertama mengenai rendahnya produktvitas minyak sawit yang baru di kisaran 3,6 ton/ha/tahun sedangkan potensi sebesar 5-6 ton/ha/tahun.
Kedua, kebutuhan harmonisasi satu data dan pemetaan. Ketiga, terdapat indikasi kurang lebih kebun sawit sekitar 3 juta hektar berada di dalam kawasan hutan/KHG. Keempat adalah persoalan legalitas dan perizinan, karena ada disharmonisasi peraturan atau Kementerian dan lembaga terkait baik di pusat maupun daera.
Kelima, gangguan dan konflik usaha antara perusahaan besar swasta/negeri dengan perkebunan rakyat. Keenam yaitu kerusakan lingkungan dan kebakaran. Ketuju, masalah kampanye negatif yang dilakukan Uni Eropa. Tantangan terakhir upaya hilirisasi produk turunan sawit.
Joko Supriyono, Ketua Umum GAPKI menjadi pembicara kedua yang menjelaskan menjelaskan peluang Indonesia untuk mengisi kebutuhan minyak nabati di pasar global. Dalam penjelasannya dikatakan, produksi minyak sawit secara global tumbuh 34,5%. Di sisi lain, permintaan sawit diperkirakan naik 35,9%. Artinya, permintaan sangat kuat di masa mendatang.
“Kami juga minta kepastian hukum dalam berinvestasi, ini sangat penting. Salah satunya masalah tumpang tindih kebun sawit di kawasan hutan, ini permasalahan krusial sudah puluhan tahun tidak ada solusi konkrit. Sampai hari ini tidak ada penyelesaian baik perkebunan swasta, apalagi untuk rakyat,” ujarnya.
Joko menuturkan masalah ketidakpastian dengan tumpang tindih lahan mengakibatkan sertifikasi ISPO terhambat. Dampaknya masalah sustainability berpeluang tidak tercapai. “Masalah ini akan mempersulit perjuangan melawan kampanye negatif di pasar global, “ujarnya.
Kalangan petani sawit yang diwakili Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) meminta dukungan Komisi IV DPR RI supaya petani tidak diwajibkan sertifikasi dalam Perpres ISPO.”Kami minta petani tidak wajib ISPO dalam R-Perpres tersebut sebelum masalah legalitas kebun petani sawit diselesaikan. Karena persyaratan pertama sertifikasi ISPO adalah legalitas lahan. Sementara, hampir 50% Petani sawit berjibagu dengan persoalan sawit dalam kawasan hutan, dan yang anehnya banyak yang bertukar warna tanpa sepengetahuan kami Petani, “ujar Gulat Manurung, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO).
“Saya sangat memahami kemana arahnya memaksakan Petani wajib memiliki Sertifikasi ISPO, ini jebakan buat Petani Sawit, nanti negara juga yang susah kalau petani bangkrut dan miskin,” ujar Gulat yang juga Auditor ISPO ini.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 98)