“Yang punya masalah tidak hanya petani saja. Pengusaha juga hadapi masalah. Kami dengan petani itu sama-sama satu kapal, we’re in the same boat. Sama-sama menghadapi gelombang masalah ini,” ujar Joko Supriyono.
Joko menjelaskan bahwa era baru ini merupkan era produktivitas. Petaniakan mempunyai produkivitas lebih bagus. Asumsinya, target 500 ribu hektare peremajaan sawit akan mendorong produktivitas tinggi. Di satu pihak, pengusaha tidak lagi berekspansi apa lagi perusahaan besar. Hal ini disebabkan kebijakan pemerintah yang menghentikan perizinan baru. “Di Inpres baru ini tidak ada lagi. Memang idealnya yang berkembang adalah petani. Dalam aspek area dan produktivitas, menurut saya petani lebih cepat berkembang,” ujarnya.
Berangkat dari persoalan ini, dikatakan Joko, ada peluang kemitraan bersama. Karena petani masih punya peluang untuk meningkatkan produktivitas TBS lewat peremajaan. Di sisi lain, perusahaan memiliki kapasitas pabrik yang cukup. Alhasil, kemitraan dapat dilakukan secara lebih baik.
Berikutnya, kemitraan ini sudah dibicarakan cukup intens. “Kami identifikasi kemitraan ini bukan hal baru. Perusahaan punya plasma sebenarnya sudah lama bermitra dengan petani. Kalau kemitraan petani swadaya itu hal baru. Peluang kemitraan terbuka lebar,” kata Joko yang lulusan Universitas Gajah Mada ini.
Justru sekarang ini, dikatakan Joko, petani swadaya mendominasi perkebunan rakyat. Sedangkan petani plasama itu tidak banyak. Petani swadaya ini praktis kurang bermitra dengan perusahaan. Ada tiga kelemahan petani petani independen. Pertama, kualitas kebun petani swadaya tidak sebaik plasma. Kedua, kelembagaan petani swadaya ini relatif lemah. Ketiga, tidak memiliki mitra yang baik.
“Tiga kelemahan ini harusnya dapat diperbaiki lewat PSR. Sejalan program peremajaan yang difasilitasi BPDP-KS,” ujar Joko.
Joko mengatakan PSR ini dimanfaatkan dan diusahakan menjadi sebaik mungkin. Maka, peremajaan seharusnya membuat kebun lebih baik dan produktif. Jika tidak terjadi, maka kualitas kebun peremajaan diragukan. “Tidak cukup pembangunan kebun saja, tapi perlusarana prasarana seperti pupuk,” ujarnya.
Joko mengatakan sudah betul BPDP-KS mensyaratkan kelembagaan bagi petani peserta PSR. Koperasi merupakan bentuk kelembagaan yang ideal bagi petani. Tidak sebatas membentuk kelompok tani saja. “Harus koperasi yang punya basis legalitas dan punya leverage. Tanpa kelembagaan, sulit bagi petani skill up. Kedepan, petani harus berorganisasi, mengelola secara kelompok, didukung koperasi yang kuat, legalitas benar, dan tata kelola yang baik sehingga punya leverage. Kelembagaan petani bukan sebagai syarat melainkan kebutuhan bagi petani untuk membangun kelembagaan kuat,” ujarnya.
Joko mendukung keterlibatan koperasi dalam PSR supaya dapat dibentuk koperasi yang kuat di tingkat perkebunan sawit petani.
Setelah itu, bicara kemitraan dimana syaratnya harus saling membutuhkan. Baik petani membutuhkan pengolahan dan sebaliknya pengolahan membutuhkan pasokan petani. Seharusnya, kata Joko, ini menjadi peluang yang dapat dilakukan. Dari aspek petani, kemitraan membantu pendampingan teknis dan penting tata niaga.
“Seharusnya kemitraan yang didukung lembaga koperasi kuat. Akan dapat memotong tata niaga petani sehingga petani dapat menikmati harga lebih baik. Dengan begitu tidak bergantung kepada middle man,” jelas Joko.
Kemitraan menjadi peluang dan solusi kedua belah pihak. Syaratnya asas saling membutuhkan. Lalu model kemitraan ideal seperti apa sekarang ini? Joko mengatakan disinilah perlunya di dorong karena bicara kemitraan lebar sekali. Paling sederhana, ada kemitraan model satu atap atau setengah atap.
“Kemitraan jangan kaku. Tapi fleksibel sehingga apa yang dibutuhkan dan dihadapi. Maka perlu panduan yang dapat disediakan kepada petani. Ada baiknya kemitraan diatur lebih rapi dan modelnya difasilitasi. Karena kemitraan dapat menjadi solusi kedepan bagi industri,” jelasnya.