Selain itu, industri juga terkena dampak dari demo buruh atau pekerja, konflik hubungan industrial dan ini semua menjadi salah satu faktor ketidak pastian hukum. Jika situasi ini berlanjut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyambut baik UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja. Regulasi ini diharapkan membuat iklim investasi kondusif dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam rangka kesejahteraan rakyat.
“Industri sawit menyambut baik adanya UU Cipta Kerja di bidang ketenaga kerjaan. Ada sejumlah pertimbangan regulasi ini membawa dampak positif. Pertama, ada kepastian berusaha. Kedua, lapangan kerja industri sawit melibatkan tenaga kerja yang cukup banyak. Ketiga, kinerja perekonomian dapat meningkat,” ujar Joko Supriyono, Ketua Umum GAPKI.
Joko mengatakan GAPKI mendukung UU Cipta Kerja untuk peningkatan investasi. Dengan investasi penyediaan lapangan kerja akan tumbuh. Tanpa investasi, maka sangat sulit untuk meningkatkan penyerapan dan penyediaan tenaga kerja.
Namun demikian, industri sawit juga menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, perkebunan sawit tidak lepas dari ketidak pastian hukum. Demi untuk mencapai kepastian hukum dan iklim usaha kondusif maka dibutuhkan regulasi ini, ada kemungkinan banyak perusahaan hengkang keluar negeri karena masalah ketenaga kerjaan dan regulasi.
Selanjutnya, investasi yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang. Penyebabnya adalah iklim berusaha tidak kondusif. Untuk itu, industri sawit yang sudah eksis juga menghadapi hal sama.
Selain itu, dikatakan Joko, industri sawit membutuhkan daya saing kuat. Sebagai contoh biaya pengangkutan sawit harus efisien sehingga dapat bersaing dengan negara lain. Saat ini, industri perkebunan punya komponen biaya utama adalah upah pekerja.
“Di satu sisi aspek daya saing harus dipertahankan. Namun disisi lain juga harus menjaga hubungan industrial yang selalu rawan setiap waktu,” jelasnya saat membuka dialog webinar bertemakan “Bedah UU Cipta Kerja Bagi Sawit Borneo Berkelanjutan”, Kamis (6 Mei 2021) yang diselenggarakan oleh Majalah Sawit Indonesia dan Borneo Forum.
Selanjutnya, kampanye negatif menyerang aspek ketenaga kerjaan sebelumnya tidak pernah ada. “Dulu yang diserang orang utan, sekarang orang beneran (tenaga kerja) yang diserang. Kampanye negatif terus berkembang dari waktu ke waktu,” ujarnya.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 115)