Ada tiga prasyarat untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai produsen utama sawit dunia. Antar lain memperbaiki daya saing, memperluas produk turunan, dan mengatasi hambatan di negara tujuan ekspor.
Kebutuhan minyak nabati di pasar global diperkirakan meningkat signifikan mencapai 226 juta ton sampai 2025. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan 2015 yang sebanyak 182 juta ton. Tingginya permintaan minyak nabati ini mengikuti pertumbuhan populasi penduduk dunia. Karena pada 2025 diperkirakan populasi penduduk dunia di atas 8 miliar jiwa.
Mengutip analisis James Fry, Chairman LMC International Ltd, disebutkan bahwa minyak sawit berpeluang mengisi kebutuhan minyak nabati dunia dengan syarat mampu meningkatkan pasokan rata-rata 5 juta ton setiap tahun.
Mengapa sawit lebih potensial mengisi kebutuhan dibandingkan minyak nabati lainnya? Data Oil World menunjukkan ekspansi lahan untuk perkebunan kedelai mencapai 16,29 juta hektare dalam periode 2012-2016. Sementara itu, dalam kurun waktu yang sama, ekspansi perkebunan kelapa sawit hanya 3,1 juta hektar di seluruh dunia.
Artinya, peluang minyak sawit lebih tinggi untuk menopang kebutuhan pangan dan non pangan dunia karena rata-rata produktivitasnya sangat tinggi 3,96 ton per hektare per tahun. Dengan produktivitas tadi cukup dibutuhkan lahan 15 juta hektare secara global. Ini berarti akan ada tambahan suplai sebesar 59 juta ton atau 5 juta ton per tahun sampai 2025.
Lain ceritanya jika bergantung minyak nabati lain seperti minyak kedelai membutuhkan tambahan lahan 115,0 juta ha (yield 0,52 ton/ha/tahun). Sedangkan, minyak rapeseed perlu kenaikan lahan 60,7 juta ha (yield 0,99 ton/ha/tahun. Dan jika dipenuhi oleh minyak bunga matahari membutuhkan lahan 84,7 juta ha (yield 0,71 ton/ha/tahun).
Joko Supriyono, Ketua Umum GAPKI mengatakan pilihannya jelas yakni lebih baik mengembangkan perkebunan kelapa sawit dibandingkan kedelai atau tanaman minyak nabati lainnya.
“Yang menjadi pertanyaan, apakah Indonesia cukup puas dengan share minyak sawit sekarang atau ingin lebih tinggi? Padahal, peluang kita (sawit) lebih besar untuk memenuhi permintaan minyak nabati dunia,” jelas Joko Supriyono.
Hingga tahun ini, pangsa pasar minyak sawit sekitar 30,1% untuk mengisi pasar minyak nabati global. Dari jumlah tersebut, Indonesia mengekspor produk sawit ke pasar dunia mencapai 31 juta ton pada 2017. Jumlah ini mengalami pertumbuhan 23% dari tahun 2016 yang berjumlah 25,11 juta ton.
Dari aspek suplai atau pasokan, negara-negara konsumen minyak sawit terbesar seperti India, China, Pakistan, juga Uni Eropa, jelas tidak mungkin bisa menggantikan minyak sawit dengan minyak nabati lainnya. “Maka dari itu dunia tidak mungkin hidup tanpa minyak sawit,” tegas Joko.
Dalam rangka mengisi kebutuhan minyak nabati dunia, dikatakan Joko Supriyono, Indonesia memiliki posisi lebih baik dan sangat penting sebagai produsen minyak sawit terbesar untuk mengambil porsi terbesar sebagai pemasok kebutuhan minyak nabati dunia ke depan. “Produktivitas dan efisiensi menjadi syarat utama dalam rangka memperbesar kontribusi Indonesia di pasar sawit global,” ujar Joko Supriyono yang satu almamater dengan Presiden Jokowi dari Universitas Gajah Mada.
Ada tiga syarat utama untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai produsen eksportir terbesar CPO dunia. Pertama, memperbaiki daya saing ekspor minyak sawit di pasar dunia. Daya saing sangatlah penting dalam rangka berkompetisi dengan negara produsen CPO lainnya. Di Indonesia, persoalan daya saing sangat dipengaruhi biaya logistik, infrastruktur, dan social security cost.
“Yang menjadi pertanyaan, apakah Indonesia cukup puas dengan share minyak sawit sekarang atau ingin lebih tinggi? Padahal, peluang kita (sawit) lebih besar untuk memenuhi permintaan minyak nabati dunia,” jelas Joko Supriyono.
|
Joko menekankan bahwa terjadi tren penurunan daya saing industri sawit akibat naiknya biaya logistik, tenaga kerja, serta biaya sosial serta keamnan. Ditambah lagi, pengusaha maupun petani berhadapan dengan ketidakpastian regulasi dari tingkat daerah sampai pusat yang kerapkali berubah. Kondisi ini mengakibatkan pengusaha bukannya memikirkan cara peningkatan produktivitas melainkan khawatir persoalan regulasi.
Jika hambatan daya saing tidak segera dipecahkan maka bisa mengancam keberlanjutan industri sawit di masa depan. “Kita telah kehilangan sejumlah komoditas unggulan di masa lalu. Sedangkan, saat ini perolehan devisa Indonesia mengandalkan sawit untuk menjaga surplus neraca perdagangan. Jangan sampai neraca perdagangan menjadi minus sehingga berakibat kepada tekanan berat untuk rupiah dan posisi Indonesia di pasar global,” jelas Joko.
Walaupun, Presiden Jokowi selalu menekankan pentingnya pemangkasan aturan (deregulasi) dalam rangka peningkatan investasi dan inovasi. Tetapi arahan ini belum berjalan baik di level teknis kementerian dan pemerintahan daerah. “Kemauan Presiden Jokowi belum seratus persen dijabarkan di level menteri dalam konteks deregulasi,” ungkap Joko.
Dikatakan Joko Supriyono, industri sawit belum merasakan dampak deregulasi bahkan yang terjadi regulasi terus bertambah. Deregulasi belum menyentuh aspek ketidakpastian hukum atau kepastian investasi sebagai contoh masalah tata ruang yang selalu berubah. Yang membuat cemas pengusaha yaitu setelah puluhan tahun menjadi pemegang HGU pada kenyataannya kebun tumpang tindih dengan kawasan hutan atau tidak bisa direplanting bahkan tidak dapat diperpanjang karena masuk fungsi lindung. “Industri sawit belum memperoleh dampak signifikan program deregulasi pemerintah,” ujarnya.