JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Jelang lebaran, 17 juta petani sawit terkulai lemas karena anjloknya harga TBS (Tandan Buah Segar) sawit dalam empat hari terakhir. Padahal, tren harga TBS sempat naik memasuki awal April.
Di pasar global, justru harga CPO di Rotterdam dan Malaysia naik tipis. Berbagai analis bisnis minyak sawit malah ada yang ber statemen “inilah perbedaan Malaysia dengan Indonesia”. Kalau di Malaysia semua pelaku usaha hulu-hilir sawit patuh, terkontrol dan termonitor dengan baik oleh Pemerintah Malaysia melalui MPOB. Makanya di Malaysia tidak ada “gaduh” mengenai fluktuasi ekstrim harga CPO.
Lebih lanjut analis tersebut mengatakan kalau di Indonesia justru Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian kalah ilmu dari korporasi. Lihat saja betapa susahnya Kementerian Perdagangan untuk memenuhi target DMO di awal bulan pertama dan bulan kedua regulasi DMO diberlakukan. Kalau di Malaysia, jika tidak patuh langsung tegur dan masih membandel langsung cabut izinnya dan berikan kepada yang patuh.
Dari Aceh sampai Papua Barat, lesunya harga TBS sawit dialami petani secara merata. Petani di Papua Barat, Paiki Doteus mengatakan dalam keadaan normal saja kami di Papua Barat mendapat margin pas-pas an dari penjualan TBS, apalagi dengan kondisi saat ini.”Kami pasti sangat menderita karena tidak dapat apa-apa dari penjualan TBS,” lanjut Paiki.
Andi Kasruddin Raja Muda, Petani sawit dari Sulawesi Barat mengatakan jika petani sawit di Sumatera saja sudah tumbang, bagaimana lagi kami di Sulawesi yang selama ini harga TBS kami jauh dibawah saudara-saudara kami di Sumatera? Tentu semakin tenggelamlah kami di Sulawesi.
Teddy Susilo, Petani sawit dari Riau menyoroti masalah pengawasan regulasi di mana Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian harus cepat membaca situasi dan melakukan antisipasi sesegera mungkin.
“Pemerintah terutama Kementerian terkait jangan malah sibuk berpolitik. Harusnya melaksanakan tugas wewenang mereka,” ujar Teddy.
Posko Harga TBS DPP APKASINDO mencatat ratusan aduan yang masuk tiap hari akibat anjloknya harga TBS di pabrik sawit dalam tiga hari terakhir.
Ketua Umum DPP APKASINDO, Dr Gulat ME Manurung, MP.,C.IMA,C.APO, melihat masalah ini bukan masalah harga CPO sedang anjlok, tapi cenderung “maruk”. Di kalangan pelaku pasar, muncul argument lesunya harga TBS sebagai antisipasi kemungkinan Levy (pungutan ekspor) dan Bea Keluar bakalan naik pasca lebaran.
“Kalangan trader dan perusahaan hilir telah menyandera alasan akan adanya kenaikan PE dan BK dari $169 menjadi $224/MT CPO pasca lebaran. Jadi para pemain CPO baik itu trader maupun perusahaan turunan minyak sawit “memaksa” membeli CPO dengan harga murah untuk alasan antisipasi kenaikan BK dan PE tadi,” jelas Gulat.
Kunci spekulasi dalam industri sawit dapat memainkan isu dan kemungkinan lain. Seperti potensi gangguan Elnino akan bertarung melawan pelemahan permintaan dan shifting kenaikan ekspor Indonesia pasca pelonggaran DMO pasca lebaran nanti.
Dalam kondisi ini petani sawit, khususnya petani sawit swadaya yang luasnya mencapai 6,38 juta hektar yang paling parah terdampak. Sementara petani bermitra yang luasnya hanya 7% (480 ribu hektar) cenderung selamat meskipun juga terdampak.
Per 14 April, harga TBS Petani swadaya turun rerata Rp150-200/kg, sehingga jika digabung penurunannya sejak tanggal 11/4 lalu sudah mencapai Rp400-550/kg TBS. Penurunan ini sangat tidak wajar jika melihat harga CPO Roterdam dan Bursa Malaysia yang cenderung stabil dan bahkan naik tipis. Berbeda dengan kondisi harga CPO hasil tender KPBN, tanggal 11/4 lalu masih Rp12.250 dan tanggal 13/4 harga CPO KPBN tinggal Rp11.360/kg CPO artinya sudah anjlok rerata Rp1.000/kg CPO.
“Jikapun harga CPO KPBN turunnya Rp1.000 per kilogram. Kemungkinan penurunan TBS petani antara Rp250-Rp300 per kilogram. Tapi faktanya sudah tertekan rerata Rp500-600/kg TBS. “a seperti itu adanya, pembeli CPO selalu mengambil spasi yang jauh lebih besar untuk mengantisipasi spasi yang lebih kecil, padahal gak ada hujan dan gak ada badai,” urai Gulat.
Hasil tender CPO di KPBN telah menjadi rujukan langsung harga TBS petani khususnya petani swadaya dan harga TBS petani swadaya adalah harian. Rerata harga TBS Petani swadaya per 14 April menurut Posko Harga TBS DPP APKASINDO adalah Rp1.750-2.100/kg dimana sebelumnya Rp2.250-2.700/kg TBS. Sedangkan harga TBS Petani bermitra sebelumnya rerata Rp2.200-2.800/kg, tapi per per 14 April turun menjadi Rp2.000-2.450 /kg.
Gulat melihat daftar peserta tender di KPBN adalah 100% anggota GAPKI. Permintaan kepada abang kami GAPKI supaya menawar CPO dengan harga pantas. Tentu saja berkorelasi dengan harga Rotterdam dan Bursa Malaysia karena dengan menawar rendah CPO KPBN. Jelas harga TBS petani langsung anjlok drastis.
“Tender KPBN akan libur mulai 18 April, jadi kesempatan trakhir naiknya harga TBS kami petani hanya di tanggal 14 dan 17 April. Jika harga CPO KPBN masih Rp.11.350 an atau bahkan lebih rendah lagi maka kami petani sawit akan semakin tertekan paling tidak sampai tender KPBN dibuka kembali pada 26 April nanti,” jelas peraih Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Riau ini.
Gulat berpandangan kondisi sekarang sangat tidak wajar karena tiga faktor. Pertama, harga CPO global cenderung stabil, kedua bahwa terjadi penurunan produktivitas TBS petani sehingga PKS rebutan TBS Petani. Ketiga adalah adanya tren menyimpan stok dari perusahaan hilir minyak sawit karena banyak hari libur.
“Idealnya akibat ketiga kondisi ini akan mendongkrak harga TBS Petani. Faktanya harga TBS Petani swadaya anjlok lebih ekstrim,” ujar Gulat.
Menurut Gulat, mitos Jelang hari besar di Indonesia selalu modus untuk menekan harga TBS petan, sudah saatnya dihilangkan. Seperti jelang lebaran, selalu anjlok harga TBS dan dikaitkan dengan THR, ini sudah jelas anti keberlanjutan. “Sementara Indonesia sudah menerbitkan Rencana Aksi Nasional (RAN) Kelapa Sawit Berkelanjutan sejak 2019, tapi nyatanya masih mengulangi modus lama”.
Selain berharap kepada kepeloporan GAPKI dan peran Kementerian Pertanian serta Kementerian Perdagangan, Gulat juga meminta aparat penegak hukum supaya melakukan analisa dan penindakan kepada perusahaan nakal karena hal ini sudah mengganggu perekonomian Indonesia.