Perkembangan biodiesel di Indonesia telah melalui perjalanan panjang. Tidak mudah mewujudkan program mandatori yang berjalan seperti sekarang. Itu sebabnya, penggunaan biodiesel tak bisa mundur karena telah menjadi kebutuhan Indonesia dan dunia.
Semenjak 1970, pengembangan biodiesel telah ramai dibicarakan akibat krisis minyak bumi mulai terjadi. Kalangan peneliti mulai merancang produksi bahan bahan kendaraan dari minyak nabati.
Dalam buku Biodiesel : Jejak Panjang Sebuah Perjuangan dijelaskan bahwa riset biodiesel di Indonesia berkembang sejak tahun 1990-an. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (LEMIGAS), Badan Pengkajian dan Penerapan teknologi (BPPT), Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI), dan Institut Teknologi Bandung (ITB) dapat dikatakan menjadi institusi awal yang meneliti biodiesel dari berbagai bahan baku. Konsistensi inilah yang menjadikan biodiesel dapat terwujud seperti sekarang ini.
Pengalaman mereka dapat dibaca secara komprehensif dan lengkap di dalam buku setebal 92 halaman dan 5 bab ini. Penyusunan buku ini merupakan kolaborasi apik antara Kementerian ESDM melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenaga listrikan dan Energi BaruTerbarukan dan Konservasi Energi (P3TKEBTKE) bekerjasama dengan Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia (APROBI).
PelaksanaTugas (Plt) Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) ESDM Dadan Kusdiana mengungkapkan peluncurkan buku ini merupakan bentuk apresiasi sekaligus inspirasi dalam pengembangan biodiesel bagi para penerus generasi di masa mendatang.
“Kita akan punya satu dokumentasi baru (buku biodiesel) bagaimana upaya anak bangsa membawa suatu manfaat secaraluas di masyarakat. Buku ini emang didesain khusus sebagai apresiasi kepada pihak-pihak yang berkontribusi lebih. Semoga buku ini memberikan inspirasi,” kata Dadan saat peluncuran buku ini secara virtual di penghujung April 2021.
Penyusunan buku biodiesel, jelas Dadan, dilakukan secara obyektif melalui tahapan wawancara langsung kepada kalangan akademisi, peneliti, pemerintah, mau pun pengusaha yang dirangkum dan disajikan dalam bahasa yang lebih ringan. “Ide ini berawal dari penggiat biodiesel untuk mendokumentasikan informasi biodiesel saat rapat di Badan Litbang ESDM sebelum Covid-19,” kenangnya.
Dadan Kusdiana mengakui keberhasilan biodiesel berkembang di Indonesia tak lepas dari kegigihan lembaga riset memperjuangkan hasil penelitiannya. Di samping itu, terdapat dukungan dari kalangan masyarakat. “Selain hasil (riset) litbang, ini juga bukti kemenangan perjuangan society yang bisa membuka jalan,” jelas Dadan.
Dadan mengakui pemerintah sendiri memang tidak banyak memiliki proses pembelajaran sebelumnya (lesson learned) dari negara lain dalam mengimplementasikan biodiesel. “Ini hanya berangkat dari keyakinan bersama dan tahapannya dilakukan secara ketat dengan melibatkan tidak hanya litbang pemerintah tapi juga perguruan tinggi. Dan tentu membuat ini mudah juga keterlibatan dari industri,” terangnya.
Kendati begitu, pemerintah bersyukur hingga saat ini sudah mampu memanfaatkan biodiesel hingga pada tahap mandatori B30. “Awalnya kita merasa B20 saja sudah cukup. Kita sudah hebat banget, tapi arahan Presiden minta lebih dari itu. Mungkin inilah kekuatan dan potensi kita untuk megoptimalkan lagi. Alhamdulillah dari tahun ke tahun kita bisa mendeliver program ini ke masyarakat dengan baik,” beber Dadan.
Dadan pun berpesan pemanfaatan biodiesel harus lebih optimal agar dari sumber energi ini bisa naik kelas dari segala aspek. “Masih banyak peluang untuk menjadi lebih baik. Selain spesifikasi dan keberlanjutannya harus lebih baik, haru sada keberpihakan rakyat harus ada. Rantai bisnis dari petani, koperasi ke korporasi harus terlihat,” imbuhnya.
Evita Legowo, Ketua Dewan Pengawas Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, dalam sambutan buku ini, menyarakan sangat bersyukur biodiesel akhirnya tetap dapat diimplementasikan, dan di tahun 2020 mencapai B30 di semua sektor pengguna, sehingga dapat menurunkan impor BBM dan membantu menurunkan emisi CO2.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 115)