Jakarta, SAWIT INDONESIA – Sekretaris Jenderal Dewan Negara-negara Produsen Sawit (Council of Palm oil Producing Countries/CPOPC), Dr Rizal Affandi Lukman, merespon pernyataan Bill Gates, investor perusahaan C16 Biosciences, yang menyatakan kelapa sawit sebagai bentuk kriminal terburuk dari perubahan iklim. Gates melalui Melinda and Gates Foundation menggelontorkan dana sebesar 3,5 juta dolar Amerika untuk riset penemuan materi pengganti minyak sawit dari bahan yeast, mikroorganisme yang tumbuh terutama di makanan yang melewati proses fermentasi. Gates menyebut alasan perlunya ia mendanai riset yang mencari alternatif minyak sawit disebabkan materi lemak nabati yang banyak dikonsumsi penduduk dunia ini berperan dalam pembakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia and Malaysia pada tahun 2018 yang melepaskan 1,4 persen emisi global.
Sekjen CPOPC menilai pandangan yang disampaikan Bill Gates melalui blog tersebut adalah bentuk penyajian dan penyebaran informasi yang menyesatkan dengan upaya menggiring pemahaman publik tanpa berbasis data akurat bahwa minyak sawit menjadi penyebab penggundulan hutan atau deforestasi.
Pemerintah Indonesia dan Malaysia telah melakukan berbagai usaha untuk memastikan produksi sawit berjalan secara berkelanjutan, salah satunya dengan menghentikan ekspansi lahan untuk perkebunan sawit. Lembaga World Research Institute menyatakan penurunan tajam angka deforestasi Indonesia dan Malaysia sejak 2017. Kedua negara terus menjalankan komitmen untuk meningkatkan produktivitas lahan yang sudah ada tanpa pembukaan lahan baru melalui kebijakan nasional termasuk sertifikasi keberlanjutan.
Gates mungkin belum terinformasi bahwa kelapa sawit menjadi satu-satunya minyak nabati yang paling ketat dalam pemberlakukan sertifikasi keberlanjutan. Mulai yang bersifat mandatory nasional yaitu Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO), dan berbasis voluntary yaitu Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), Roundtable on Sustainable Biomaterials (RSB), Agriculture Sustainable Standard (SAN), International Sustainability and Carbon Certification (ISCC), dan High Carbon Stock (HCS) Approach.
Untuk mencapai produksi sawit berkelanjutan guna mencapai ketahanan pangan dan enerji, Sekjen CPOPC percaya bahwa solusi yang dibutuhkan adalah semangat bekerja sama antara negara produsen dan konsumen. CPOPC menjalankan peran ini dalam kaitan memenuhi persyaratan European Union Deforestation Regulation (EUDR) dengan menfasilitasi kolaborasi antara pemerintah Indonesia dan Malaysia dengan Uni Eropa melalui Ad Hoc Joint Task Force (JTF). Platform Ad Hoc JTF dibentuk untuk mendiskusikan tantangan implementasi EUDR dengan berjejak pada pemahaman bersama akan isu keberlanjutan, dan memastikan bahwa produk-produk komoditas yang termasuk dalam EUDR akan dan telah memenuhi persyaratan bukan dari pembabatan hutan.
Sekjen CPOPC setuju bahwa praktik deforestasi harus dihapuskan. Namun untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan kemitraan yang kuat dan solid, bukan yang hanya menyalahkan salah satu pihak saja. Untuk itu, Sekjen CPOPC mengingatkan agar klaim Gates yang menyebut kelapa sawit sebagai bentuk kriminal terburuk dari perubahan iklim harus dan perlu dikoreksi. Sejumlah bukti ilmiah menunjukkan budidaya kelapa sawit justru mengurangi emisi gas rumah kaca atau greenhouse gas (GHG). Kelapa sawit berasal dari pohon yang menjalankan fungsi ekologis melalui proses sekuestrasi (menangkap dan menyimpan) karbon dioksida dan melepaskan oksigen. Demikian jelas bahwa kelapa sawit justru memiliki peran penting dalam kontribusi menurunkan emisi GHG.
Mengenai penemuan ilmiah untuk mencari alternatif dari minyak sawit, Sekjen CPOPC menyambut upaya tersebut sebagai inovasi menjaga ketahanan pangan dan enerji dimasa depan ditengah laju cepat populasi dunia. Persatuan Bangsa-bangsa memperkirakan jumlah penduduk akan menjadi 8,5 milyar orang pada 2030 dengan lonjakan kebutuhan minyak nabati akan mencapai 33 juta ton pada tahun yang sama. Laporan Badan Pangan Dunia (FAO) mencatat Indonesia dan Malaysia akan berperan mengisi hingga 83 persen produksi minyak sawit dunia dan 34 persen produksi minyak nabati global. Jelas minyak sawit tidak mungkin mengisi seluruh pasokan dan perlu membangun semangat menjalin kemitraan antar minyak nabati agar ketahanan pangan dan enerji dunia tetap stabil. Motivasi inilah yang CPOPC usung melalui kegiatan tahunan Sustainable Vegetable Oils Conference yang akan digelar ketiga kalinya pada 10 September mendatang di Rotterdam, Belanda.
Pemerintah Indonesia dan Malaysia juga berkomitmen untuk tidak lagi menambah luas lahan yang berpotensi membatasi pasokan dan fokus pada peningkatan produktivitas seperti melalui program peremajaan (replanting). Maka alih-alih mendiskreditkan, Gates sebaiknya merenungkan fungsi ekologis pohon sawit, produktivitasnya yang mampu menghasilkan 8 – 10 kali lipat dari minyak nabati lainnya untuk setiap hektar lahan, dan perannya dalam menjaga ketahanan pangan dan enerji dunia. Tidakkah semua ini cukup menjadi basis argumen yang valid untuk menyatakan kelapa sawit justru menjadi apa yang oleh Nico Roozen, pendiri Solidaridad Network, gambarkan sebagai penyelamat dunia dari bencana ekologi?