JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Wacana penerapan Strategi Jangka Benah (SJB) di perkebunan sawit harus dikaji lebih mendalam dan tidak boleh tergesa-gesa. Walaupun secara definisi, konsep ini ditujukan kepada perbaikan lebih dari segi Profit, Planet dan People (3P). Ketiga aspek ini harus saling berangkulan tanpa harus merendahkan masing-masing aspek tersebut.
“SJB ini lebih tepat diarahkan kepada Strategi Jangka Benah Produktivitas Sawit Berkelanjutan (SJB-Prowit Berkelanjutan),” ujar Dr. Ir. Gulat Manurung, MP.,C.APO, Ketua Umum DPP APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia) yang membawahi 22 DPW Provinsi sawit Indonesia.
Ia mengatakan implementasi SJB ini akan menentukan nasib dan masa depan petani kelapa sawit terutama yang berada di dalam kawasan hutan. Untuk itu, organisasi petani sebagai objek dari SJB-Prowit Berkelanjutan ini perlu ambil peran. Apalagi ini produktivitas kelapa sawit rakyat baru 2,5-3,5 ton CPO/ha/tahun.
“Seharusnya produktivitas inilah yang perlu dijalankan melalui SJB-Prowit Berkelanjutan. Sementara itu, ada pola “SJB Modus” yang bertujuan mematikan perkebunan kelapa sawit rakyat. Ini sangat berbahaya jika dibiarkan,” tutur Gulat dalam perbincangan melalui telepon saat berada di kebun sawitnya.
Atas dasar itulah, APKASINDO bermohon ke Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB Bogor untuk melakukan kerjasama kajian Naskah Akademis sawit masuk kelompok tanaman hutan. Hasilnya telah diuji dan relevan dengan kepentingan negara ini, melalui Seminar Nasional bertemakan “Permasalahan, Prospek dan Implikasi Kelapa Sawit sebagai Tanaman Hutan” pada akhir bulan November lalu.
Adapun sejumlah hasil naskah akademis ini menyimpulkan enam point. Pertama, secara bio-ekologis tanaman kelapa sawit hampir sama dengan tanaman hutan dan faktanya kelapa sawit memang berasal dari hutan tropis Nigeria. Kedua, kebun sawit tidak menyebabkan kekeringan. Ketiga, perkebunan kelapa sawit dapat menjadi habitat dari berbagai taksa satwa liar (mamalia, burung, amfibi dan reptil). Perubahan tutupan bukan hutan menjadi kebun kelapa sawit cenderung meningkatkan keanekaragaman jenis hampir semua taksa.
Keempat, tanaman kelapa sawit memiliki kemampuan penyerapan CO2 yang tinggi dan paling efisien dalam pemanfaatan radiasi matahari dibandingkan dengan tanaman komoditas kehutanan lainnya. Nilai NPP kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman kehutanan lainnya, dan nilai NEE juga tidak lebih rendah dibandingkan dengan ekosistem hutan. Kelima, dalam hal kinerja finansial ekonomi dan sosial perkebunan kelapa sawit jauh mengungguli tanaman hutan.
Keenam, dari sudut pandang profitabilitas per unit lahan, perkebunan kelapa sawit intensif memberikan opsi penggunaan lahan terbaik yang menjadi dasar pertimbangan petani. Sementara pengembalian ekonomi yang rendah, kepemilikan lahan yang kecil, dan struktur pasar dan rantai pasokan yang kurang baik pada hutan tanaman dianggap sebagai kendala signifikan yang membatasi minat masyarakat kepada hutan tanaman .
Dari hasil kajian naskah akademik sawit salah satu tanaman hutan ini, maka IPB merekomendasikan tiga aspek. Pertama, berdasarkan sejarah asal-usul, bio-ekologi, kesesuaian lahan dan hidrologi, konservasi keanekaragaman hayati, iklim mikro/serapan dan emisi GRK, kinerja ekonomi finansial dan dampaknya terhadap sosekbud masyarakat sekitarnya serta keungguan komparatif dan berbagai implikasi positif yang dimiliki, maka Kelapa Sawit layak dan prospektif untuk dijadikan sebagai salah satu tanaman hutan terdegradasi/kritis dan atau tidak produktif.
Kedua, mengantisipasi kerentanan system “monokultur” dan menjaga keseimbangan ekologis terutama perkebunan kelapa sawit dalam skala luas, seyogyanya dikombinasikan/dicampur (sistem jalur blok) dengan tanaman hutan unggulan setempat dan tanaman kehidupan yang diperlukan oleh masyarakat sekitarnya.
Ketiga, sawit sebagai tanaman hutan bukan untuk kawasan hutan yang masih berhutan, tetapi hutan yang terdegrasi, kritis dan tidak produktif.
“Merujuk rekomendasi IPB, pola Jangka Benah ini lebih tepat dan berkelanjutan dijalankan petani sawit. Karena perkebunan sawit terutama kebun rakyat yang dituding dalam kawasan hutan masih bisa berjalan sebagai ekonomi masyarakat dan Tidak diubah statusnya menjadi hutan alam. Versi IPB adalah SJB Prowit Berkelanjutan sehingga perkebunan sawit masih dapat diremajakan (PSR) meskipun diklaim masuk kawasan hutan,” jadi semua 3P itu berpelukan, urai Gulat.
Gulat mengkritisi Konsep Jangka Benah yang ditawarkan oleh Fakultas Kehutanan UGM yang didukung Yayasan Kehati-SPOS Indonesia dan UK-Aid. Merujuk website jangkabenah.org bahwa tahapan jangka benah dilakukan dalam dua tahap. Tahapan pertama bertujuan merubah kebun kelapa sawit rakyat monokultur menjadi kebun campur sawit dalam bentuk agroforestri.
Tahapan kedua bertujuan untuk meningkatkan struktur dan fungsi ekosistem agroforestri kelapa sawit sehingga struktur dan fungsinya dapat menyerupai hutan alami (close to nature).
Dalam hal keterlanjuran sawit monokultur dalam kawasan hutan, jangka benah merupakan periode untuk memperbaiki struktur dan fungsi ekosistem hutan yang terganggu/rusak akibat ekspansi kebun kelapa sawit monokultur terhadap kawasan hutan.
Dilansir dari laman Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Sigit Sunarta, Dekan Fakultas Kehutanan UGM tidak sepakat dengan usulan memasukkan kelapa sawit sebagai tanaman hutan. Asumsi bahwa dengan memasukkan sawit sebagai tanaman kehutanan dapat menyelesaikan masalah deforestasi dan persoalan lain yang menghambat perluasan kebun sawit nasional adalah hal yang spekulatif.
Atas dasar itulah, kata Sigit Sunarta, Fakultas Kehutanan UGM bersama dengan berbagai mitra telah mengambil sikap dengan mengusulkan konsep Strategi Jangka Benah (SJB) sebagai alternatif solusi keterlanjuran kebun sawit di kawasan hutan.
“Untuk konsep SJB UGM-NGO Kehati dll ini, kami petani sawit mempersilahkan kebun teh UGM saja dulu yang di Jangka Benah kan. Itukan pegunungan, gak boleh dijamah manusia, biar kami lihat sampai dimana hebatnya SJB tersebut. Atau hutannya Perhutani dan Inhutani yang dipulau Jawa banyak berubah fungsi saja di SJB kan UGM dan Kehati, berani gak?” tanya ayah dua anak ini.
Jangan jagoan diatas kertas saja menyuruh kami Petani sawit. Saya yakin, semua perguruan tinggi di Pulau Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera akan menolak ide teoritik ini,” ujar Gulat.
Gulat menuturkan,”kalau ide SJB UGM dan NGO tersebut sama saja petani akan kehilangan lahan karena otomatis dialihfungsikan menjadi hutan. Kalau begitu akan mematikan kebun sawit petani, masak Jangka Benah malah merusak yang sudah baik.”
“Kalau seperti ini, bagaimana nasib petani sawit. Jelas pendapatan kami akan hilang. Belum lagi petani diwajibkan sertifikasi ISPO. Pelan tapi pasti, SJB Versi UGM akan menghilangkan perkebunan sawit rakyat, karena faktanya dari 3,5 juta ha sawit dalam kawasan hutan itu, 78% adalah petani sawit. Ini artinya, kelapa sawit sebagai komoditas strategis Indonesia bakalan terancam,” pungkas Gulat.
“Coba saja tunjuk lokasi dimana yang namanya SJB versi mereka yang sudah berhasil. Jangan baru uji skala demontrasi plot (demplot), sudah berani merekomendasikan ke 3,5 juta ha,” tutup Gulat.