JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Kebijakan Uni Eropa (UE) menerbitkan Deforestation Free Commodities (DFC) akan berdampak kepada perdagangan sawit dalam jangka panjang. Pemerintah Indonesia dan pelaku usaha masih menunggu peraturan turunan dari kebijakan ini.
Natan Kambuno, Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan RI menjelaskan bahwa Produk minyak kelapa sawit, sapi, kedelai, kopi, kakao, kayu dan karet serta produk-produk turunannya seperti daging sapi, furniture atau coklat masuk dalam cakupan kebijakan DFC ini. Oleh karena itu Importir harus melakukan due diligence pada komoditas tersebut dengan memastikan dan membuktikan bahwa produknya tidak diproduksi dari lahan yang bersumber dari deforestasi atau degradasi hutan setelah cut-off date yang ditentukan UE yaitu 31 Desember 2020.
“Memang tujuan untuk mencapai No Net Emission Green House Gas di tahun 2050 dengan menekankan ketelusuran barang dari hulu ke hilir yang meliputi legalitas dan bebas deforestasi,” ujar Natan kepada sawitindonesia.com
Diakui Natan bahwa produk sawit berdasarkan data ekspor menunjukkan bahwa Uni Eropa (UE) merupakan tujuan ekspor minyak kelapa sawit (HS 1511) dan turunannya terbesar ketiga setelah ke Cina dan India. Adapun dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2017-2021) terjadi peningkatan tren sebesar 2%, dimana nilai ekspor minyak kelapa sawit ke UE sebesar 2,68 milyar USD pada tahun 2017 menjadi 2,94 milyar USD di tahun 2021.
Akan tetapi pada periode Januari-Oktober 2022 terjadi penurunan sebesar -17,20% dari periode yang sama dari tahun sebelumnya. Sementara dari sisi volume ekspor, terlihat tren negatif sebesar -7,55% dimana pada tahun 2017 volume ekspor mencapai 4 juta ton menjadi 2,8 juta ton di tahun 2021.
Selain itu volume ekspor pada tahun periode Januari-Oktober tahun 2022 mengalami penurunan sebesar -29,85% dari periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Pada 6 Desember 2022, Parlemen Eropa dan Dewan Eropa telah mencapai kesepakatan politik terkait proposal DFC. Peraturan ini akan diadopsi terlebih dahulu sebelum diberlakukan oleh UE, dan paling cepat akan diterapkan akhir 2023.
“Saat ini, pemerintah Indonesia masih menunggu proses penyusunan kebijakan DFC di Parlemen UE untuk memastikan status risiko Indonesia,” ujar Natan.
Pasalnya kebijakan UE ini akan mengklasifikasi negara-negara menurut risiko ‘tinggi’, ‘standar’, dan ‘rendah’. Negara-negara ‘berisiko tinggi’ akan diawasi lebih ketat daripada negara-negara ‘berisiko rendah’.
Menurut Natan, Indonesia sebagai salah satu negara produsen komoditas yang masuk dalam kebijakan DFC tentunya akan sangat terdampak atas penerapan kebijakan dimaksud, khususnya pada sistem due diligence yang berpotensi menciptakan hambatan perdagangan.
Apabila merujuk cut-off date dalam proposal DFC yakni 31 Desember 2020, maka KLHK telah mengeluarkan kebijakan penghentian Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) pada tahun 2021 yang selaras dengan program penyerapan bersih atau net sink carbon pada 2030 untuk sektor kehutanan dan penggunaan lahan (Forestry and Land Use/FOLU).
Karena itulah, menurut Natan, tetap ada optimisme akan potensi keberterimaan produk sawit untuk tetap dapat diekspor dan masuk ke pasar UE masih cukup besar meskipun kebijakan DFC UE diberlakukan.
“Namun demikian sebaiknya sertifkasi dalam negeri Indonesia seperti ISPO sudah dapat menyesuaikan dengan kebijakan UE dan sertifikasi diberlakukan merata dari petani hingga perusahaan,” urainya.
Fadhil Hasan, Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri GAPKI, menjelaskan eksportir sawit masih menunggu aturan turunan dari Deforestation Free Commodities yang diberlakukan Uni Eropa.
“Tahun 2023, ekspor sawit masih tetap bisa ke negara Uni Eropa. Namun yang perlu diwaspadai volume perdagangan di tahun 2024,” pungkasnya.