JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Kalangan petani sawit gusar selama libur lebaran tahun ini. Setelah dihantam kenaikan harga pupuk dan pestisida, kali ini harga TBS (Tandan Buah Segar) sawit petani anjlok sebesar 75%.
“Fenomena industri kelapa sawit selama dua minggu terakhir telah menjadi rekor dunia. Rekor dari segi kenaikan harga CPO Dunia dan juga dari ambruknya harga TBS Petani. Pemerintah Indonesia saat ini menghadapi tantangan baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri pasca larangan ekspor CPO dan bahan baku minyak goreng lainnya,” urai Ketua Umum DPP APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia), Dr Gulat ME Manurung, MP.,CIMA,CAPO, melalui sambungan telepon Kamis (5 Mei 2022).
Gulat menjelaskan bahwa tantangan dalam negeri berasal dari ambruknya harga petani, hilangnya pendapatan negara, naiknya pengangguran, melemahnya pertumbuhan ekonomi, potensi gangguan sosial dan keamanan.
APKASINDO telah mengumpulkan data harga TBS sawit di delapan provinsi dari Posko Pengaduan Harga TBS. Faktanya, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01/2018 dan Pergub Tata Niaga TBS di delapan provinsi dan terakhir surat edaran Dirjen Perkebunan Nomor 165 Tahun 2022 praktis tidak dipedulikan oleh semua pabrik kelapa sawit.
Rerata penurunan harga TBS sebesar 58,87% terutama di provinsi yang memiliki Pergub Tata Niaga TBS sepanjang 23-30 April 2022. Gulat mengatakan penurunan harga paling signifikan terjadi di provinsi tanpa aturan Tata Niaga TBS. Harga dapat turun sampai 65,45%.
Kenapa pabrik sawit membeli TBS petani dengan harga g sangat murah? Apakah hanya ingin memanfaatkan air mata petani sawit untuk melawan Pemerintah? Terus terang kondisi ini sudah memperburuk citra sawit Indonesia yang selama ini sudah berangsur membaik seiring dengan perbaikan tiga dimensi sawit, yaitu aspek ekonomi, sosial dan aspek lingkungan, namun saat ini seakan terabaikan, terkhusus aspek ekonomi dan sosial.
Gulat memiliki data pembanding bahwa ada satu pabrik sawit milik petani yang membeli TBS sesuai ketetapan harga provinsi. Pabrik berlokasi di Tanah Laut, Kalimantan Selatan, ini membeli harga Rp 3.769/kilogram sebagaimana ditetapkan Dinas Perkebunan Kalimantan Selatan. Jikapun ada penurunan berada di batas normal antara Rp 100-Rp 300/Kilogram.
Pabrik tersebut dapat membeli sesuai putusan provinsi karena CPO mereka masih dibeli dengan harga Rp.16.000/kilogram. Penurunan harga CPO dari Rp 17.000/Kilogram sebelum 22 April, idealnya membuat harga turun sebesar Rp 300/kilogram.
Saat ini, harga CPO internasional sebesar Rp 23.900/Kilogram. Dengan asumsi patokan harga CPO sebelum 22 April sebesar Rp 17.000/Kilogram dan harga TBS saat itu Rp 3.950/Kilogram. Tentu dapat kita hitung bahwa sekalipun terjadi larangan ekspor idealnya harga TBS Petani di minggu pertama Mei 2022 minimal Rp 5.500/Kilogram.
Fakta menarik lainnya adalah pabrik kelapa sawit memanfaatkan situasi untuk menaikkan potongan timbangan sebagaimana tercantum dalam Permentan 01 tahun 2018. Di daerah, seusai Pidato Presiden Jokowi pada 22 April lalu maka potongan timbangan di PKS naik hampir 3 kali lipat.
“Misalnya jika Petani A ke PKS menjual TBS Rp 1.000 per kilogram. Jika potongan timbangan 10%, maka yang dibayar oleh pabrik kelapa sawit sebesar Rp 900 per kilogram. Tentu ini semakin membuat petani merugi dua kali, pertama harga yang anjlok dan kedua potongan timbangan di pabrik kelapa sawit,” jelasnya.
Dikatakan Gulat, seharusnya Permentan Nomor 01/2018 dapat menjaga kenormalan harga TBS Petani. Seandainya Kementerian Pertanian langsung mengantisipasi seusai Presiden Jokowi menyampaikan kebijakan larangan ekspor sawit.
Itu sebabnya, Gulat bertanya siapa yang melindungi petani sawit? Setelah jatuhnya harga sawit petani. Padahal, sudah ada Permentan Nomor 01/2018. Perlu diketahui bahwa referensi dari harga TBS petani adalah tender CPO di KPBN. Berikutnya harga CPO di KPBN merujuk harga CPO internasional.
“Semua orang tahu ketika harga CPO saat ini sedang naik, seharusnya TBS Petani juga naik. Kalaupun turun akibat larangan ekspor harusnya harga TBS yang dibeli pabrik kurang dari Rp.3.800/kg. Hitungan kami sangat cermat karena petani sudah memasuki generasi kedua,” jelasnya.
Gulat menjelaskan bahwa larangan ekspor produk CPO, Refined Bleached and Deodorized Palm Oil (RBD Palm Oil), Refined Bleached and Deodorized Palm Olein (RBD Palm Olein), dan Used Cooking Oil (UCO) seharusnya bukan alasan untuk menekan harga TBS petani. Sebab, refineri dapat mengalihkan kepada produk lain seperti oleokimia, biodiesel, Refined Palm Oil, Crude PKO, Refined PKO dan banyak lain produk lainnya.
“Jika refineri mengalihkan bahan baku CPO kepada produk hilir yang tetap bisa diekspor. Seharusnya refineri bisa mendapatkan harga tinggi di pasar internasional,” pungkas Gulat.