Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) mendorong pola kemitraan setara diantara perusahaan kelapa sawit dan petani. Model kemitraan haruslah saling menguntungkan dan mampu mengangkat kelas petani.
Ir. Gulat ME Manurung,MP, CAPO, Ketua Umum DPP APKASINDO mengatakan, selama ini pola kemitraan konvensional permasalahannya hanya satu arah. “Kami inginkan dua arah baik antara perusahaan dengan petani. Maka, kami usulkan pola sederhana yakni saling menguntungkan dan saling memperkuat tetapi tidak menguntungkan satu pihak saja,” ujar dia.
Saat ini, kata Gulat, prinsip kesetaraan harus diutamakan dalam kemitraan antara petani dan perusahaan. Prinsip setara ini sebagai jalan keluar atas permasalahan kemitraan yang terjadi di masa sebelumnya seperti persoalan keterbukaan, pergeseran komitmen, dan persoalan biaya operasional.
“Supaya bisa setara, petani perlu dibantu untuk memperbaiki aspek legalitas kebun. Kami ingin ingin persoalan kebun sawit petani yang dimasukkan sebagai kawasan hutan, bisa selesai. Bagaimana bisa setara apabila petaninya tidak jelas (legalitasnya),” kata Gulat.
Menurut dia, kemitraan sangat dibutuhkan petani sawit. Karena tujuannya memberikan kepastian, nilai tambah bagi yang bermitra, pertumbuhan ekonomi, pemerataan serta pemberdayaan masyarakat serta usaha kecil.
Berdasarkan data APKASINDO, prosentase petani plasma saat ini tinggal 7-10 persen, dari sebelumnya mencapai 21 persen. “Ini menjadi masalah karena banyak petani plasma bercerai dengan perusahaan,” tandas Gulat saat menjadi salah satu pembicara dalam Dialog webinar bertemakan “Kemitraan Sinergis dan Penguatan Kelembagaan Demi Rantai Pasok Sawit yang Efisien”, yang diadakan Majah Sawit Indonesia didukung oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), pada Jum’at (28 Agustus 2020).
Dia menuturkan pola kemitraan perkebunan kelapa sawit, perusahaan menanam hingga merawat sawit. Akan tetapi sortasi tetap dilakukan. “Jadi pola yang ada itu tidak setara, sehingga petani plasma keluar dari kemitraan karena tidak adanya keadilan,” jelas dia.
Gulat mengatakan, petani sawit mulai timbul kesadaran bahwa kemitraan harus berkelanjutan dengan konsep kesetaraan. Dalam mebangun kemitraan setara APKASINDO melakukan kerjasama dengan berbagai lembaga seperti Gabungan Pengusaha KeIapa Sawit Indonesia (GAPKI), Badan Pengelola Dana Perkebunan-Kelapa Sawit (BPDP-KS), Komisi ISPO, Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) dan UNDP. “Ini cara kami untuk mejaga petani kita yang bermitra, sehingga kerjasama-kerjasama yang dilakukan APKASINDO menjadi modal awal membangun kemitraan setara,” terang dia.
Gulat mencontohkan, kerjasama dengan GAPKI dalam rantai pasok Tandan Buah Segar (TBS). “Nilai tawar kami ingin ada kesamaan kedudukan dan keterbukaan. Sehingga petani sawit bisa naik kelas,” ujar dia.
Disatu sisi, kata dia, petani sawit tidak hanya menuntut, namun akan memperbaiki diri dan evaluasi diri guna mengimplementasikan konsep kemitraan setara. “Bagaimana mau menuntut kesetaraan jika petaninya tidak jelas dari bibit hingga sertifikat tanah. Padahal kami ingin setara dengan perusahaan. Kami ingin masuk rantai pasok dengan kualitas yang diinginkan oleh industri,” ungkap Gulat.
Gulat menambahkan petani sawit ingin akselarasi naik kelas dalam bermitra. “Kemitraan itu penting dan kami mengajak para petani plasma agar tidak keluar dari perusahaan. Kemitraan merupakan solusi untuk peningkatan pendapatan petani sawit,” kata dia.
Dalam membangun kemitraan kelembagaan petani perlu diperkuat dan ditingkatkan peranannya. “Model kemitraan dapat diperluas lagi untuk masa kini. Jangan lagi, polanya sebatas kerjasama untuk suplai buah sawit ke pabrik,” tambah Gulat.
Menurut dia, konsep kesetaraan akan hilang jika rantai pasok sawit petani terlalu panjang. “Petani ingin mendekatkan diri ke pabrik dengan standar yang ada dan harga TBS yang layak,” ujar dia.
Meskipun diakuinya untuk memenuhi standar kebun petani sawit agar masuk rantai pasok berkelanjutan cukup sulit saat ini. Diantaranya legalitas usaha, organissi pekebun, pengelolaan dan pemantauan lingkungan serta peningkatan usaha berkelanjutan.“Keberlanjutan itu penting supaya petani tidak dikelurkan dari rantai pasok sawit. Kemitraan itu tidak ada gunanya kalau rantai pasok kita tidak diterima oleh industri,” ujar Gulat.
Dalam kesempatan terpisah, DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) membuat gebrakan melalui kerjasama dengan Exxon Mobil. Kerjasama ini meliputi pengembangan Mobil Mikrosite di luar wilayah Jawa, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit indonesai, Edisi 107)