“Kami petani sawit sangat mensyukuri PSR. Selain itu, apresiasi tinggi kepada Presiden Joko Widodo yang memberikan perhatian besar bagi petani sawit Indonesia,” ujar Ir. Gulat ME Manurung, MP, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO).
Gulat Manurung menuturkan Program PSR sangat dibutuhkan petani untuk memperbaiki kebun dan meningkatkan produktivitas sawit rakyat. Baru-baru ini, dana peremajaan sawit telah dinaikkan menjadi Rp 30 juta per hektare sehingga semakin dirasakan manfaatnya bagi petani.
“Kami apreasiasi perhatian Kementerian Keuangan melalui BPDPKS yang menaikkan dana hibah, apalagi di masa Pandemi Covid-19 ini, sangat memberi harapan baru masa depan sawit petani yang sudah memasuki generasi kedua,”jelasnya.
Gulat menjelaskan tingginya perhatian pemerintah kepada petani dapat terlihat dari hibah PSR yang ditingkatkan pemerintah dari Rp 25 juta per hektare menjadi Rp30 juta per hektare. “Ini harus kita sukseskan bersama biar target PSR 500 ribu hektar, segera terwujud,” ujar Gulat.
Selain itu, kata Gulat, dukungan Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian sangatlah terasa yang mewujudkan kebijakan untuk melonggarkan syarat PSR. Dari sebelumnya 8 persyaratan dipangkas menjadi 2 persyaratan. “Kemudahan ini sangat membantu petani untuk meningkatkan target peremajaan sawit, “ujar Gulat.
“Dana pungutan sangat bermanfaat untuk petani sawit. Saya ingin sampaikan bahwa petani sawit justru mensyukuri manfaat dana pungutan ekspor. Kalau ada yang berseberangan pendapat dengan kami, mungkin bersumber dari orang yang bukan petani sawit sehingga tidak merasakan manfaatnya,” ujar Ir. Gulat Manurung MP C APO.
Dalam perhitungannya, pungutan ekspor berdampak kepada harga TBS petani sawit. Dari perhitungan asosiasi, diskon yang diterima antara Rp 90-Rp 110/Kg TBS untuk setiap pungutan 50 US$ per ton CPO.
“Tapi petani tidak keberatan sepanjang dana tersebut dipergunakan kembali untuk membangun sektor kelapa sawit. Dan petani sawit sangat merasakan manfaatnya. Walaupun Indonesia terlambat mendirikan BPDPKS dari Malaysia yang sudah puluhan tahun lalu mendirikan lembaga serupa. Tetapi, ini sudah kemajuan besar untuk bangsa,” tuturnya.
Dikatakan Gulat, petani sawit ingin naik kelas dan menjadi setara. Petani sawit tidak ingin lagi menjadi gurem melainkan harus berubah dan bisa setara seperti perusahaan perkebunan lainnya. Oleh karena itu, PSR merupakan salah satu instrumen untuk mengantarkan petani dapat bertrans formasi dan lebih baik lagi.
“Upaya naik telah dilakukan melalui pembuatan produk turunan sawit karya petani seperti minyak goreng, hand sanitizer, dan coklat. Selain itu, kami berencana membangun pabrik sawit petani untuk mewujudkan harga yang berkeadilan,” tegas kandidat Doktor Lingkungan ini.
Berkaitan Perpres ISPO, Gulat Manurung meminta pemerintah untuk membantu peta jalan persiapan ISPO bagi petani. Karena, ada banyak tantangan dan hambatan yang mereka hadapi seperti kebun sawit dimasukkan dalam kawasan hutan. Gulat mendukung penyelesaian sawit dalam kawasan hutan ini sudah ditunggu sejak 10 tahun lalu. Di tahun 2010 kebawah masalah ini kurang begitu terekspose. Tapi dengan munculnya regulasi yang mengatur tatakelola hutan mengakibatkan terjadinya ‘irisan’ dengan pemanfaatan tanah yang dulunya tidak jelas peruntukannya.
Inpres No 6 Tahun 2019 tentang Rancangan Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan mengharuskan lintas kementerian harus fokus duduk bersama bagaimana padu serasinya. “Sawit dalam kawasan hutan adalah masalah yang sangat serius, tidak ada gunanya kita bercerita ISPO jika masalah yang semudah ini saja gak selesai-selesai atau jangan-jangan sengaja persoalan ini diternak?”, tanya Gulat.
Dalam pandangan Gulat, Perpres ISPO merupakan terobosan dan lompatan jauh tetapi apa bila tidak diiringi dengan kebijakan strategis tentang solusi sawit dalam kawasan hutan maka Perpres dan Permentan ISPO menjadi permainan NGO.
“Petani Sawit Indonesia sebelumnya menolak Draf Perpres ISPO ini karena diwajibkan punya sertifikat ISPO. Kami merasa petani belum siap dengan segala persoalannya sawit dalam kawasan hutan,” jelas Gulat.