Hampir setengah jam lebih, menguraikan persoalan yang dihadapi petani sawit mulai dari peremajaan, kelembagaan hingga tata niaga buah sawit (TBS). Ir. Gulat ME Manurung, MP, CAPO, Ketua Umum DPP APKASINDO ini menyampaikan fakta lapangan dari laporan anggotanya yang tersebar di 22 provinsi dan 134 kabupaten kota sentra sawit.
“Di balik tantangan yang dihadapi petani, cukup berpeluang untuk bisa terselesaikan masalahnya,” ujar Gulat Manurung.
Gulat menjelaskan bahwa roh program PSR ini adalah intensifikasi, yaitu peningkatan produktivitas tanaman perkebunan kelapa sawit dengan tanpa menambah luas lahan perkebunan sawit. PSR dilakukan melalui pergantian tanaman tua atau tidak produktif dengan tanaman baru, dengan produktivitas 2-3 ton TBS/Ha/bulan, yang sebelumnya hanya 400 kilogram/ha/bulan.
Berdasarkan data profil kebun sawit yang perlu diremajakan sekitar 2,27 juta hektare adalah perkebunan swadaya. Kondisi lahan petani swadaya ini memiliki luas bervariasi, berpencar, usaha sendiri, SHM/SKT/SPORADIK, tidak bankable, dan bibit tidak jelas asalnya dan mayoritas dalam kawasan hutan. Kalau petani PSR ditargetkan 500 ribu hektare (7,3%) tersebut pasti dapat disertifikasi ISPO karena dokumen pencatatannya sangat lengkap dan pasti non kawasan hutan.
“Namun Petani yang tidak ikut PSR seluas 6,5 juta hektare (92,7%) bagaimana?Masalah ini akan menjadi persoalan pelik untuk ISPO kan. Apa lagi jika kepentingan “pembenci sawit” masuk dalam pembahasan RPP, maka semakin runyam nasib petani sawit kampong tadi,”jelasnya.
Faktanya perkebunan sawit yang dikelola oleh petani dari 41% (6,8 juta hektare) ini hanya 8% petani plasma. Rata-rata produktivitas petani swadaya (petani kampong) berkisar 400-600 kg TBS sawit /ha/bulan. Di sisi lain, petani sudah sangat jauh masuk kelini bisnis perkebunan sawit, tak mungkin mundur lagi. Tak heran lebih dari 20 juta orang tergantung ke industri sawit petani. Memang, 78 % petani pada awalnya adalah petani ikut-ikutan dalam berkebun untuk mengadu nasib dan bertahan hidup.
Akibat berbagai persoalan tadi, produktivitas petani menjadi rendah. Untungnya, Presiden Joko Widodo dan Wapres Mar’ruf Amin punya perhatian besar kepada petani sawit terutama swadaya. Gulat memberikan acungan dua jempol kepada program PSR. Pasalnya, PSR ini memberikan kesempatan kepada petani untuk meningkatkan produktivitas di atas rata-rata.
“(PSR) ini kesempatan terbaik bagi petani untuk tingkatkan produktitivitas. Makanya, APKASINDO sangat aktif memberikan edukasi dan sosialisasi kepada petani,” ujar Gulat.
Di daerah sentra sawit, dikatakan Gulat, masih minim informasi PSR kepada petani. Tak heran, petani mengganggap dana PSR ini bukannya hibah melainkan bersifat pinjaman (wajib dikembalikan) dan bahkan ada yang menganggap ini semacam multi level marketing (MLM). Untuk itu Gulat menekankan jajaran pengurus APKASINDO di tingkat provinsi sampai kabupaten bergerilya dan berjibaku menjumpai petani untuk memberi pemahaman. Terakhir ini, APKASINDO berkolaborasi dengan Surveyor Indonesia. Di lapangan, faktanya petani kesulitan mengakses PSR dengan berbagai kendalanya. Kendala utama petani yaitu lahannya diklaim berada di kawasan hutan walau pun umur tanaman di atas 10 tahun.
Dari pihak bank, kata Gulat, pihak perbankan kurang aktif dalam mengedukasi PSR. Selain itu, bank memposisikan diri hanya sebagai penyalur dana hibah, berdasar catatan kami di 16 Provinsi yang sudah ada PSR nya, hanya Bank Riau Kepri yang menyediakan skema kredit dana pendamping bagi Petani PSR. Hal ini diperparah kalangan petani cenderung alergi untuk berhutang ke bank (ciri petani kampong).
Dalam pandangan Gulat, hambatan PSR tadi dapat diselesaikan melalui konsep tri partite. Konsep ini terdiri dari tiga solusi yaitu sosialisasikan, clear kawasan, dan pendampingan. Sosialisasi ini dapat melibatkan organisasi petani seperti APKASINDO, Samade, dan ASPEKPIR. Empat tahun PSR sudah berjalan, praktisasosiasi petani ini terlupakan, pada hal namanya peremajaan sawit rakyat.
“Selain itu, peran media juga sangat penting menampilkan dan menceritakan kebun petani yang sudah sukses PSR, ini sangat merangsang petani lainnya,” terang kandidat Doktor Lingkungan ini. Media sangat berperan dalam mensosialisasikan PSR ini.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 109)