Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Ir. Gulat Manurung, MP.,C.APO, berharap banyak kepada pemilik pabrik kelapa sawit pengusaha perkebunan, petani, dan koperasi berbasis sawit untuk peduli terhadap masyarat di 25provinsi sentra produksi sawit.
“Dari catatan kami, 70 persen produksi CPO kita adalah di eksport, 30 persen untuk kebutuhan dalam negeri. Namun dengan kondisi Wabah Covid-19 ini kebutuhan dalam negeri semakin meningkat. Karena CPO ini adalah bahan baku hampir semua sabun dan material disinfektan lainnya. Ini belum termasuk kebutuhan obat-obatan tertentu yang menggunakan CPO sebagai bahan baku dasar, termasuk minyak goreng dan ratusan produk turunan dari CPO ini,” ujar Gulat.
Untuk itu, ia meminta tiga provinsi penghasil CPO terbesar di Indonesia yaitu Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan Barat harus menjadi perhatian serius pemerintah untuk memastikan roda industri sawit tetap berjalan. Saat ini sangat banyak isu beredar bahwa pabrik sawit akan tutup karena Covid-19. Isu ini sengaja dimainkan untuk menimbulkan kepanikan. Selain itu, pemain isu ini sudah melihat dan mempelajari bahwa industri sawit saat krisis moneter 1998 merupakan penyelamat ekonomi nasional. Oleh karena itu, berbagai cara dibuat supaya terjadi “chaos” disektor industrisawit yang berujung hilangnya sumber devisa negara.
“Secara nasional, ada sekitar 18,2 juta manusia yang menggantungkan hidupnya secara langsung pada tanaman ini. Belum lagi ring 2, 3 dan 4 yang bersentuhan dengan aktivitas kelapa sawit ini,” kata Gulat.
Dari luasan 16,3 juta hektar sekitar 42 persen adalah dikelola oleh petani. “Bisalah kita bayangkan berapa TBS petani yang akan busuk jika produksi rerata perhektar mereka dalam sebulan antara 800 kilogram hingga 1.100 kilogram,” Gulat merinci.
Gulat mengakui harga CPO saat ini trendnya mengarah positif sekalipun negara importir CPO menghadapi lockdown. Tapi Indonesia diuntungkan dengan kebijakan lockdown Malaysia negara kedua terbesar penghasil CPO. “Dengan begitu dunia sangat tergantung dengan CPO Indonesia dan secara bersamaan meningkatnya kebutuhan dalam negeri. Selain itu, hasil analisa kami, bahwa ada trend negara pengimpor CPO melakukan penimbunan sebagai upaya antisipasi bila mana Indonesia mengambil opsi lockdown. Jadi banyak faktor mengapa terjadi trend naiknya harga CPO dunia ditengah masa pandemik Covid-19 ini.
“Dengan tidak lockdownnya Indonesia, kami sangat berharap pabrik sawit memakai moment ini untuk meningkatkan kinerja ekspor. Karena CPO yang dieksporakan menghasilkan devisa bagi negara yang saat ini sangat membutuhkan dana segar untuk menanggulangi Covid-19 ini,: harap Gulat.
Gulat mendukung pabrik sawit tetap beroperasi bukan berarti APKASINDO mengabaikan SOP Penanganan Covid-19. Tentu saja, pabrik wajib menerapkan protokol kesehatan sebagaimana arahan pemerintah. Untuk itu, kita wajib sekuat tenaga mendukung pemerintah tanpa lockdown dengan cara dan peran kita masing-masing.
“Saat krisis Moneter tahun 1998, sejarah mencatat bahwa industri sawit salah satu penyelamat ekonomi nasional. Mari kita ulangi prestasi sawit sebagai penyelamat ekonomi nasional disaat Wabah Covid-19 melanda dunia,” pintanya.
Gulat menekankan dirinya berharap supaya kepala daerah jangan latah memilih opsi Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB). Kalau kepala daerah tidak mampu mengendalikan PSBB ini malah bisa memperburuk situasi.
“Oleh karena itu, sepanjang Indonesia tidak lockdown, tidak ada alasan pabrik sawit tutup. Semua pihak yang terkait dengan industri sawit harus melakukan komunikasi secara intens dengan pemerintah dan berkoordinasi dengan aparat kemanan. Jangan sampai rantai pasok TBS ke PKS dan pengiriman CPO terganggu akibat isu tidak bertanggungjawab,” tegas Gulat yang juga Kandidat Doktor Ilmu Lingkungan ini.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 102)