JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menginginkan penetapan hutan adat tidak berdampak buruk kepada investasi di sektor perkebunan. Itu sebabnya, Pemerintah diminta memberikan kepastian hukum kepada pelaku usaha.
“Pada prinsipnya Gapki sebagai pelaku usaha meminta kepada pemerintah agar diberikan kepastian hukum. Ada baiknya penetapan tanah adat tidak tumpang tindih dengan izin perkebunan kelapa sawit yang sudah diterbitkan terlebih dahulu. Sebaiknya investasi harus tetap dijaga,” ujar Eddy Martono, Ketua Bidang Tata Ruang dan Agraria Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).
Terkait investasi, Presiden RI, Joko Widodo meminta investasi dan ekspor supaya dapat ditingkatkan. Karena nvestasi adalah kunci utama kita dalam menyelesaikan neraca perdagangan, defisit neraca transaksi berjalan.
Eddy Martono menjelaskan penetapan hutan adat dapat seharusnya dapat memperjelas status tanah adat dan areal perkebunan.“Harapan kami, tidak akan ada klaim terhadap izin yang sudah ada kemudian dianggap sebagai tanah adat,” pintanya.
Saat pengurusan pelepasan kawasan hutan, dijelaskan Eddy, sewaktu izin awal seperti izin lokasi seharusnya terdapat info bahwa areal yang dimohonkan adalah hutan adat. Ini berarti harus menyelesaikan terlebih dahulu dengan masyarakat adat. Demikian juga pada waktu mengurus pelepasan kawasan hutan maupun panitia B untuk HGU (Hak Guna Usaha) karena dilibatkan pemerintah desa dan pihak lain melalui kegiatan rapat dan menandatangani risalah panitia B.
“Oleh karena itu, seharusnya tanah adat sudah dicantumkan di risalah tersebut dan apabila perusahaan belum menyelesaikan dengan masyarakat adat HGU tidak akan diproses oleh BPN,” jelasnya.
Eddy Martono berharap penetapan tanah adat ini melihat izin yang sudah ada sebelumnya maka tidak ada tumpang tindih. Dalam pandangannya karena yang ditetapkan hutan adat sebenarnya Kementerian LHK menganggap areal tersebut masih kawasan hutan.
Oleh karena itu, bagi perusahaan yang sedang melakukan proses pelepasan kawasan hutan melalui PP 60 dan PP 104 seharusnya tidak ada tumpang tindih dengan penetapan hutan adat oleh Kementerian LHK.
Ia pun berpendapat skala peta 1:2000.000 yang digunakan dalam peta tersebut sangat rawan tumpang tindih. Karena peta yang biasa digunakan pemerintah untuk perizinan skala 1:250.000 dan proses HGU memakai skala 1:5.000.
“Bagi pelaku usaha meminta ada kepastian hukum. Jangan sampai di luar negeri sawit sudah dihantam deforestasi. Sedangkan di dalam negeri, tidak ada kepastian hukum berusaha seperti adanya gesekan antara penetapan hutan adat dengan izin perkebunan sawit yang sudah terbit,” ungkapnya.
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Prof DR. Ir. Yanto Santosa, DEA mengatakan, kebijakan hutan adat menjamin kepastian bagi masyarakat adat dan berpotensi memperkecil persoalan tenurial. Hanya saja, dalam pemanfaatannya harus tetap megikuti fungsi hutan yang telah ditetapkan.
“Dari segi kepemilikan masyarakat adat punya lahan. Tetapi penggunaan lahan akan tetap mengacu RTRW dan TGHK,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, Kementerian LHK menerbitkan Luas Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase I sesuai mencapai 472.981 hektare yang berasal dari hutan negara seluas 384.896 hektare, areal penggunaan lain (APL) seluas 68.935 hektare, dan hutan adat seluas 19.150 hektare. Peta ini ditetapkan melalui SK Nomor 312/MenLHK/Setjen/PSKL.1/4/2019 yang dikeluarkan pada tanggal 29 April 2019, peta hutan adat dan wilayah indikatif hutan adat fase I dengan skala 1 : 2.000.000.