JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Penerima izin lokasi dan hak atas tanah sering menjadi obyek kesalahan yang sesungguhnya hak atas tanah tersebut telah diberikan sesuai perundang-undangan yang berlaku. Seperti izin lokasi yang sudah terbit hak atas tanah seperti HGU, HGB, SHM, HPL dan hak lainnya, salah satunya untuk perkebunan kelapa sawit.Namun masih diklaim sebagai kawasan hutan.
Seperti diketahui, terbitnya izin lokasi dan hak atas tanah untuk berusaha terkadang beririsan dengan klaim kawasan hutan. Perbedaan ini seringkali terjadi dikarenakan perbedaan peta. Apalagi hingga saat ini belum ada One Map Police di Indonesia. Untuk itu, agar tak berlarut-larut pemerintah wajib melindungi investasi perkebunan sawit.
Pakar Hukum Kehutanan dan Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta, Dr Sadino, SH, MH menjelaskan peraturan yang berkaitan dengan izin lokasi tidak hanya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun 1993 tentang Tata Cara Memperoleh Izin Lokasi dan Hak Atas Tanah Bagi Perusahaan dalam Rangka Penanaman Modal. Tetapi dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan yang mengatur perizinan bidang perkebunan yang didalamnya ada perkebunan kelapa sawit. Perubahan selalu terjadi dan saat ini izin lokasi digantikan dengan KKPR.
“Namun, dalam ketentuan umum peraturan Menteri Agraria menjelaskan Izin Lokasi adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah sesuai dengan Tata Ruang Wilayah (RTRW), yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak,” jelas Sadino, dalam keterangan resmi yang diterima redaksi sawitindonesia.com, pada Rabu (18 Januari 2023).
Menurutnya, hal ini sudah sesuai dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sesuai Pasal 15 ayat (2) yang menyatakan kegiatan pengukuhan Kawasan hutan “memperhatikan” tata ruang wilayah. Artinya tata ruang wilayah sebagai dasar pemberian izin lokasi adalah sebagai panglimanya. Di dalam “pengukuhan kawasan hutan” yang dijalankan juga harus “memperhatikan” tata ruang wilayah.
“Pemerintah juga wajib memberikan perlindungan hukum, khususnya investasi bagi pelaku usaha perkebunan kelapa sawit yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,” kata Sadino.
Meski sudah ada aturan dan perundang-undangan, masih saja penerima izin dan hak disalahkan. Padahal sudah membayar pajak dan kewajiban lainnya kepada negara tetapi tidak dilindungi investasi dan hak-haknya. Pemerintah memiliki komitmen dalam melindungi investasi oleh pelaku usaha perkebunan sebagaimana ketentuan dalam UU Penanaman Modal sesuai azas hukumnya, yaitu: kepastian hukum; menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan.
Izin lokasi dan kawasan hutan kerap berisisan
Jika terjadi permasalahan, misalnya, izin lokasi dan hak atas tanah berisisan dengan kawasan hutan sejatinya sudah ada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34 pemerintah sudah berusaha menyelesaikannya melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2021 Tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah.
“Hal ini, juga didukung dengan lahirnya Perpu 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang sebelumnya UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta kerja juga mengatur penyelesaian perkebunan kelapa sawit sesuai Pasal 110A dan Pasal 110B. “Penyelesaian permasalahan perkebunan kelapa sawit telah diatur Pasal 110A dan Pasal 110B baik itu yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Perpu 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja,” jelas Sadino menegaskan.
Selanjutnya, ia mengutarakan terkait izin lokasi beririsan atau dikaitkan dengan kawasan hutan. Memang kadangkala terjadi perbedaan peta antara Peta Tata Ruang Wilayah dengan Peta Kawasan Hutan. Hal ini disebabkan belum adanya One Map Police di Indonesia.
“Dengan adanya perbedaan peta tersebut, maka diperlukan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2021 Tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah,” imbuh Sadino.
Masalah Izin Perkebunan Bukan Korupsi
Permasalahan izin terkait bisnis perkebunan kelapa sawit merupakan permasalahan administrasi, yang termasuk ke dalam Undang-Undang (UU) Kehutanan. Jika ada permasalahan izin, hal itu bukanlah merupakan tindak pidana dan tidak masuk dalam ruang lingkup perkara tindak pidana korupsi.
Sadino mengungkapkan hal tersebut diatur dengan Perpu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UUCK) pada Pasal 110A. Kegiatan usaha di dalam kawasan hutan dan memiliki Perizinan Berusaha sebelum berlakunya UU ini dan belum memenuhi, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 (tiga) tahun. “Jika setelah lewat 3 (tiga) tahun tidak menyelesaikan, baru dikenai sanksi administratif, berupa, penghentian sementara kegiatan usaha, denda administratif; dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha,” ungkapnya.
Menurut Sadino, pelaku usaha masih diberikan waktu selama tiga tahun sejak UUCK dan Perpu 2 diberikan waktu sampai 2 November 2023 dikeluarkan untuk menuntaskan administrasi pengurusan izin dan tidak ada merupakan Tindakan pidana dan tidak juga masuk dalam ruang lingkup perkara tindak pidana korupsi.
“Sehingga permasalahan izin yang menjerat beberapa perusahaan seharusnya dikenakan sanksi administratif bukan sanksi pidana, karena izin adalah otoritas pemberi izin dan termasuk dalam tindakan administrasi,” ujar Sadino.
Tak Ada Kawasan Hutan Tanpa Pengukuhan
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Prof Dr Sudarsono Soedomo menyampaikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan hutan merupakan hasil pengukuhan dengan melalui proses penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan. Tanpa proses itu maka tidak bisa disebut kawasan hutan.
“Selama ini orang mengira dengan penunjukan saja suatau daerah atau lahan telah menjadi kawasan hutan, padahal, masih harus melalui proses pengukuhan yang dimuali dengan penunjukan kawasan hutan, penataan batas, pemetaan dan penetapan,” ujarnya, saat menjadi saksi ahli persidangan kasus dugaan korupsi lahan di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat.
Lebih lanjut, ia mengatakan pemerintah lupa bahwa menunjuk tanpa dilanjutkan sampai penetapan melalui pengukuhan kawasan hutan adalah bersifat inferatif yang harus dijalankan pemerintah. Mahkamah Konstitusi menyatakan kalau hanya menunjuk terus disebut sebagai kawasan hutan adalah tindakan yang otoriter.
“Tanpa ada proses yang lengkap penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan, maka pengukuhan kawasan hutan belum selesai. Karena pengukuhan kawasan hutan adalah untuk memberikan kepastian hukum tentang kawasan hutan itu sendiri,” lanjut Sudarsono.
Pengukuhan dengan tahapan merupakan bentuk pelaksanaan administrasi pemerintahan. Jika tidak dijalankan dan telah ada ketentuan hukum lain, maka status menunjuk kawasan hutan posisinya sangat lemah dan menyimpan potensi konflik.
“Pelepasan kawasan hutan, tentunya atas lahan kawasan hutan yang sudah dikukuhkan, bukan kawasan hutan yang baru dalam proses penunjukan. Penentuan pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan juga harus memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah sesuai Pasal 15 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Seringkali salah dipahami seolah Hak Atas Tanah seperti HGU mesti ada pelepasan kawasan hutan. Padahal kalau RTRW Provinsi atau RTRW Kabupaten/Kota bukan kawasan hutan ya tidak diperlukan pelepasan kawasan hutan.
“Misalnya, Hak Atas Tanah seperti HGU di Riau dan Kalimantan Tengah (Kalteng). Bagaimana produk Hak Atas Tanah pemerintah malah tidak diakui, padahal produk tersebut diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku berarti sah menurut hukum. Juga tidak ada pencabutan izin dan dibatalkan oleh pengadilan,” pungkas Sudarsono.
Hal senada juga disampaikan, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Dr Budi Mulyanto dasar dari penetapan kawasan hutan adalah pengukuhan, dan bukan penunjukan seperti selama ini diterapkan. Konsep penunjukan yang selama ini diberlakukan, punya persoalan, yakni terlihat legal tapi tidak legitimate atau pengakuan sangat rendah dari masyarakat.
“Tata batas adalah proses hukum dan bukan proses teknis. Oleh karena itu batas harus ditentukan dan disepakati oleh pihak-pihak yang berbatasan dengan menerapkan azas contradictiore delimitatie.”Persoalan tata batas selalu tidak tuntas, karena dalam praktiknya terdapat dualisme kebijakan pertanahan di Indonesia,” kata Prof Budi.
Dalam kawasan hutan legalitas pemanfaatan tanah melalui izin dari KLHK. Sedangkan di luar kawasan hutan atau yang disebut dengan Area Peruntukan Lain (APL) administrasi dan penguasaan tanah menjadi kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Fakta ini berimplikasi pada munculnya berbagai aturan dan regulasi bidang pertanahan di dalam dan luar kawasan hutan, termasuk masalah kepastian hukum pengakuan penguasaan tanah oleh masyarakat, khususnya masyarakat adat yang telah lama bermukim di wilayah tersebut,” imbuh Prof Budi menegaskan.