Upaya untuk mencegah kampanye negatif yang tidak jarang ditujukan pada industri sawit Indonesia mendorong PPKS untuk mengajak stakeholder menjaga komoditas unggulan dari serangan baik dari dalam maupun luar negeri.
International Oil Palm Conference (IOPC) 2018 menjadi agenda rutin Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) yang berlangsung selama tiga hari dari 17–19 Juli 2018, di Medan, Sumatera Utara. Kegiatan berskala internasional ini esmi dibuka Deputi Bidang Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud, pada Selasa (17 Juli 2018).
Ketidakpastian harga minyak sawit dan kampanye negatif yang tidak jarang ditujukan pada sektor perkebunan sawit menjadi perhatian bagi PPKS, dengan menghadirkan IOPC 2018 dengan mengusung tema ’Smoothing The Market Disequilibria. Innovations and Technology The Disequilibria in The Global Market’.
Direktur PPKS, Hasril Hasan Siregar, mengatakan kelapa sawit memiliki peran startegis bagi perekenomian Indonesia. Komoditi ini menghasilkan devisa negara, penyerapan tenaga kerja, pengentasan kemiskinan, peningkatan dan pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah dengan dampak multiplier effect.
Sementara itu, Musdhalifah Machmud menyampaikan sektor perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia menjadi komoditas andalan. Hal tersebut dibuktikan dengan jumlah devisasebesar 23 miliar USD pada 2017 dari kelapa sawit. Selain itu, kelapa sawit juga berperan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sebagai indicator pertumbuhan ekonomi sebesar 3,4%.
Bahkan, sekitar 16 juta tenaga kerja hidup dari sektor perkebunan kelapa sawit, dan mampu menggerakan industri-industri lainnya. Dan, yang tidak kalah penting sektor perkebunan kelapa sawit juga mempu berkontribusi pada penurunan kemiskinan di 190 kabupaten, berdampak pada penurunan agregat sekitar 6 juta angka kemiskinan di pedesaan pada periode 2005-2016.
Selain itu, dari data pengeluaran penduduk yang dirilis BPS tahun 2016, diperkirakan nilai transaksi antara masyarakat kebun sawit dengan masyarakat nelayan ikan mencapai Rp 13,7 triliun per tahun, dengan masyarakat petani pangan sebesar Rp 54,6 triliun per tahun, dan dengan masyarakat peternak sebesar Rp 24,1 triliun per tahun. Hal ini menjadi bukti sektor perkebunan kelapa sawit adalah roda penggerak ekonomi di pedesaan.
Kendati, kelapa sawit berkontibusi pada pertumbuhan nasional, namun kelapa sawit mengalami banyak tantangan terkait perdagangan dan isu kampanye negatif kelapa sawit.
Selanjutnya, Hasan Hasril Siregar menambahkan di sektor perdagangan, harga minyak kelapa sawit mengalami fluktuasi harga seiring dengan terjadinya ketidakseimbangan pasar dunia minyak nabati. Ketidakseimbangan pasar terjadi karena adanya beberapa faktor baik potensi produksi, konsumsi maupun stimulus kebijakan perdangangan oleh negara pengekspor dan pengimpor minyak nabati.
Potensi produksi dipengaruhi beberapa hal yang bisa diatur dan bisa tidak bisa diatur, di antaranya teknologi, manajemen produksi, iklim dan sumber daya alam. Potensi konsumsi sangat dipengaruhi terutama oleh populasi, karakter sosio ekonomi, harga local, daya beli serta persaingan dengan barang subsitusi.
Kebijakan perdagangan menstimulus produksi maupun konsumsi di negara pengekspor dan pengimpor, merupakan hal terkait dengan cara pandang pemangku kepentingan di negara pengekspor dan pengimpor serta tergantung pada waktu dan masalah social ekonomi. “Kebijakan perdagangan pemerintah dan konsumsi saat ini banyak dipengaruhi oleh kampanye isu negatif kelapa sawit,” ujar Hasan.
Berbagai kampanye negatif digaungkan pada sawit
Kekhawatiran produsen minyak nabati bersaing dengan minyak sawit menjadi pemicu intensifnya kampanye negatif. “Awalnya kampanye minyak sawit sebatas isu kesehatan yang mempengaruhi konsumen. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir melebar ke aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Strategi kampanye negatif tersebut terstruktur, sistematis dan masif yang melibatkan LSM anti sawit internasional dan lokal dengan menggunakan media hingga media sosial,” tambah Direktur PPKS.
Selain itu, kampanye negatif tidak sekedar mempengaruhi opini publik secara global, tetapi menggunakan jalur konsumen, produsen, industri, kelembagaan pendukung hingga jalur pemerintah.
Pada jalur konsumen, berupa labelisasi “palm oil fre” sebagai jejaring multinasional pada industri pangan. Sementara, ditingkat produsen yaitu adanya pembatasan aturan standarisasi dengan label sustainability. Industri pendukung seperti perbankan juga tak luput agar tidak memberikan kredit pada sektor perkebunan sawit.
Selain itu, pada Lembaga pemerintah adanya tekanan keras untuk mengeluarkan kebijakan yang mengekang industri sawit. Salah satunya resolusi Uni Eropa pada kebijakan Renewable Energy Directive (RED) yang menghapus penggunaan minyal sawit (Biofuel) sebagai salah satu sumber energi terbarukan. Berbagai isu tersebut dapat menimbulkan kerugian bagi perkembangan industri sawit Indonesia, jika tidak ditangani serius.