PALEMBANG, SAWIT INDONESIA – PP 57/2016 mendapatkan kritikan dari kalangan akademik lantaran berpotensi melanggar tiga aspek yaitu yuridis, sosiologis, dan filosofis. Itu sebabnya, pemerintah diminta merevisi beleid perlindungan gambut ini.
Hal ini diungkapkan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Prof. Dr. Joni Emirzon, S.H., M.Hum dalam Focus Group Discussion (FGD) di bertema Rekonsiliasi pemahaman dan strategi untuk review dan implementasi PP 57/2016 jo.PP 71/2014 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut di Palembang, Selasa, 19 Desember 2017.
Prof. Joni Emirzon menyatakam bahwa penerbitan regulasi sebaiknya berpijak kepada kajian akademis dan tidak bernuansa politis. Paling utama, regulasi memberikan manfaat, keadilan, dan ketertiban bagi semua pihak.
“Dalam menyusun aturan perlu mengacu pada tiga pilar yakni aspek filosofis, yuridis dan sosiologis,” ujarnya .
Prof.Joni menjelaskan secara filosofis, suatu aturan seharusnya mampu memberi bentuk perlindungan hukum kepada semua pihak. Disatu sisi PP memang menjamin perlindungan lingkungan, namun disisi lain tidak memberi kepastian berusaha bagi masyarakat dan dunia usaha yang hidup didalamnya.
“Padahal, pengelolaan gambut punya potensi ekonomi tinggi untuk mensejahterakan masyarakat, bagaimana mereka akan memenuhi penghidupannya jika lahan yang bisa mereka manfaatkan dilarang dipakai ” kata Joni.
Secara aspek yuridis, katanya, perlu dinilai apakah ada aturan-aturan yang lebih tinggi seperti UU yang dilanggar. Jika ini terjadi, misalnya PP itu berbenturan dengan UU investasi, aturan ini perlu direvisi. Perubahan peraturan atau bahkan perumusannya harus jelas naskah akademis yang menjadi dasar dari pembuatan peraturan terkait, misalnya dalam penentuan 0,4 sebagai batas harus jelas dari mana dasarnya, sedangkan aturan ispo saja mensyaratkan 0,6-0,8 m.
“Sepertinya masih terjadi perbedaan persepsi dan tujuan antar lembaga pemerintah seperti KLHK dengan perdagangan dan pertanian, apakah tidak ada komunikasi saat perumusan peraturan tersebut yang mengakomodir masing-masing sektor?” kata Joni.
Aspek berikutnya adalah sosiologis mengenai kesiapan masyarakat. “Kalau kenyataan masyarakat belum siap sebaiknya aturan itu tidak perlu dilanjutkan apalagi dipaksakan.”
Data Kementerian Perindustrian menyatakan bahwa, total investasi industri hulu dan hilir usaha kehutanan dan investasi industri hulu dan hilir usaha perkebunan dibiayai oleh pinjaman dalam negeri senilai Rp 83,75 triliun dan luar negeri senilai Rp 193,57 triliun, bagaimana nasib pembayaran pinjaman ini dengan ketidakpastian iklim investasi dengan adanya PP Gambut ini. Hal ini akan menjadi kredit macet yang mendorong rating investasi ke arah negatif. Masalah lain yang krusial dari PP gambut ini adalah potensi ribuan PHK tenaga kerja, sektor lain yang hidup dari industri ini akan sangat berdampak besar. Peraturan yang menghambat dalam pembangunan ekonomi seharusnya harus di amandemen atau di revisi.
Joni juga menilai, revisi PP No.57/2016 perlu dilakukan karena tidak mempunyai azas dan tujuan yang jelas. Dalam suatu penyelengaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab (Good Governance) transparansi terkait azas dan tujuan harus diungkapkan secara jelas untuk memberi rasa keadilan, manfaat dan ketertiban.