JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Kebijakan perluasan DMO-DPO minyak goreng memberikan pukulan telak bagi kalangan eksportir. Bagi eksportir sawit yang terintegrasi dari hulu sampai hilir, kebijakan ini masih dapat diikuti. Pukulan terberat akan dirasakan bagi eksportir yang tidak punya kebun. Siapa saja?
Kementerian Perdagangan memperluas kebijakan pembatasan ekspor sampai ke produk hilir. Aturan baru ini tertuang dalam Permendag Nomor 08 Tahun 2022 mengenai Perubahan Kedua Atas Permendag Nomor 19 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.
Dalam aturan ini, pemerintah mempersyaratkan kewajiban pemenuhan pasar domestik (Domestic Market Obligation) sebesar 20% kepada eksportir produk sawit. Langkah ini diambil dalam upaya mengembalikan stabilisasi harga dan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri.
Hampir tiga minggu berjalan, kalangan eksportir mengambil sikap wait and see terhadap kebijakan ini. Lantaran, mereka diharuskan mereka membeli harga baku CPO sebesar Rp 9.300/kg melalui skema Domestic Price Obligation. Opsi lainnya adalah dapat membeli harga olein sebesar Rp 10.300/kg.
Di sisi lain, harga CPO belum menunjukkan tren penurunan. Di pasar domestik, rerata harga CPO sebesar Rp 14.500/kg berdasarkan tender KPBN. Selisih harga pasar dengan harga DPO inilah yang membuat eksportir kebingungan mencari bahan baku sebagai syarat DMO.
Sahat Sinaga, Pengamat Perkelapasawitan, menuturkan sasaran DMO-DPO ini ditujukan kepada perusahaan eksportir yang terintegrasi sampai di kebun (hulu). Agar mereka dapat mengikuti regulasi yang ada wajib pasok 20% di dalam nengeri. Bahan bakunya dapat diambil dari kebun sendiri.
“Jadi, yang diminta pemerintah harga CPO di level Rp 9.300 /kg itu berasal dari kebun perusahaan sendiri,” jelasnya.
Menurut Sahat, pukulan terberat akan dihadapi kalangan eksportir yang tidak punya bahan baku CPO sendiri. Istilahnya, eksportir tanpa kebun. Kewajiban DM0-DPO ini berpotensi membuat rugi besar. Karena harus mencari pasokan CPO sebesar 20% dari total volume yang akan diekspor sebagai prasyarat DMO.
“Perlu diingat ada extra cost sebesar USD 453,1 per ton CPO yang harus ditanggung untuk mengekspor CPO atau RBD Olein 5 Ton. Jadi, mereka mengambil posisi tidak ekspor karena bakalan rugi besar,” ujar Sahat.
Berdasarkan data yang dikumpulkan redaksi, berikut ini beberapa eksportir tanpa kebun yang berpotensi rugi sebagai Dampak DMO-DPO:
- Louis Dreyfus Company (LDC) Indonesia
LDC Indonesia bagian dari perusahaan multinasional LDC sebagai eksportir komoditas global. Di Indonesia, perusahaan ini tidak memiliki dan mengelola perkebunan sawit. Pasokan bahan bakunya bersumber dari pihak lain yang bermitra dengan perusahaan.
Meski demikian, LDC Indonesia mempunyai dua refineri di Balikpapan dan Lampung. Selain itu, perusahaan juga mempunyai pabrik biodiesel ini terletak berdekatan dengan kilang sawit terintegrasi milik LDC di Lampung yang telah beroperasi sejak 2014. Kapasitas produksi tahunan pabrik ini mencapai 420.000 ton Palm Methyl Ester (PME) dan 50.000 ton glycerine.
- PT Pacific Indopalm Industries
PT Pacific Indopalm Industries adalah perusahaan ini mengelola refineri dan fraksinasi di Dumai, Riau. Dikutip dari website resmi perusahaan www.pacificindopalm.com, perusahaan berdiri pada 2009 dengan kapasitas terpasang produksi mencapai 3.400 ton per hari. Dukungan infrastruktur lainnya adalah tanki penyimpanan (Storage Tank) mencapai 94 ribu ton dan dermaga.
Produk yang dihasilkan perusahaan antara lain RBD Palm Oil, RBD Palm Kernel Oil, RBD Palm Olein, RBD Palm Super Olein, RBD Palm Soft Stearin, Crude Palm Olein, dan Crude Palm Stearin.
Bahan baku diperoleh dari pabrik sawit yang menjadi mitra perusahaan. Tetapi, tidak ada informasi perusahaan memiliki perkebunan dan pabrik sawit sendiri.
Selain pasar domestik, perusahaan fokus kepada pasar global antara lain Djibouti, Mesir, UAE, Kenya, Malaysia, Mozambique, Oman, Saudi Arabia, Tanzania, dan Ukraina
.