JAKARTA – SAWIT INDONESIA – Tidak banyak perusahaan kelapa sawit yang punya cerita manis dalam menjalankan sistem kemitraan petani plasma. Lain halnya PT Hindoli, anak usaha Cargill, yang berhasil membangun kemitraan bersama 9.600 petani plasma dengan luas areal 20.958 hektare .
Sofyan, Ketua Koperasi Petani Kelapa Sawit (KPKS) Bakti Mulya, menceritakan telah bermitra dengan PT Hindoli dari 1990 sampai tahun ini. Skema kemitraan inti-plasma memberikan banyak manfaat kepada petani untuk bantuan benih, bimbingan teknis budidaya, dan kepastian harga jual.
“Sistem kemitraan dengan PT Hindoli sangatlah bermanfaat bagi kami. Ada bimbingan teknis, pemberian benih, administrasi koperasi, dan adanya harga premium,” ujar Sofyan dalam wawancara di Jakarta, Selasa (14/3).
Koperasi Bakti Mulya mempunyai 382 anggota petani dengan total areal perkebunan sawit 764 hektare yang berlokasi di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Menurutnya, sistem kemitraan dengan perusahaan membantu petani dalam peningkatan produktivitas dan kesejahteraan. Ini terbukti, rata-rata produksi Tandan Buah Segar (TBS) sawit dalam satu bulan mencapai 6 ton per kavling (satu kavling = 2 hektare). Dari jumlah produksi tersebut, penghasilan yang diperolehnya mencapai Rp 9 juta per bulan.
“Penghasilan tadi sudah bersih setelah dipotong biaya produksi. Produksi Februari sempat turun menjadi 4,7 ton dengan penghasilan sebesar 8,6 juta rupiah,” tutur pria asal Sukabumi, Jawa Barat ini.
Menurut Sofyan, PT Hindoli juga membantu koperasi agar mendapatkan dua sertifikat sawit berkelanjutan yaitu Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan International Sustainablity Carbon Certification (ISCC). “Dengan memiliki sertifikat ini petani menerima harga premium sebesar 4% dan 0,5% untuk koperasi,” jelasnya.
Pada Agustus 2010, petani plasma Hindoli menjadi petani pertama di dunia menjadi penerima sertifikat RSPO. Per Januari 2016, perkebunan petani plasma Cargill yang bersertifikat RSPO mencapai 24.461 hektare.
Sofyan mengakui dibandingkan petani plasma, produksi petani swadaya lebih rendah sekitar 2,5 ton TBS per bulan. Rata-rata penghasilan mereka Rp 2 juta-Rp 3 juta setiap bulan. “Rendahnya produksi karena masalah di perawatan dan pemupukan,” tuturnya.
Tanpa kehadiran perusahaan sebagai mitra, menurut Sofyan, tidak ada bimbingan teknis kepada petani dan sehingga mereka awam pola budidaya. Sebagai contoh, belum semua punya pemahaman mana bibit asli atau palsu. Begitu juga dengan harga TBS, petani mitra merujuk kepada penetapan per 15 hari. Sedangkah, petani swadaya berpatokan kepada harga harian.
“Banyak petani swadaya yang berminta sebagai mitra PT Hindoli. Namun syaratnya tidak ringan antara lain lahan mereka harus bersertifikat,” ungkap Sofyan.
Saat ini, Koperasi Bakti Mulya sedang mempersiapkan peremajaan tanaman (replanting) anggotanya yang rata-rata memasuki umur 26 tahun. Biaya replanting dikalkulasi sebesar Rp 120 juta per kavling.
Sofyan menjelaskan bahwa anggota koperasi punya tabungan replanting sebesar Rp 12 miliar. Tabungan ini rencananya digunakan untuk biaya hidup selama 4 tahun di saat peremajaan berlangsung sampai tanaman menghasilkan.
“Pihak Hindoli sudah berkomitmen untuk bermitra dengan kami. Peremajaan akan dibantu perusahaan dan kami mitra dengan bank. Hindoli berperan sebagai avalis,” ujarnya.
Dalam kesempatan terpisah, Bambang, Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian pihaknya memberi perhatian serius perkebunan rakyat baik swadaya ataupun plasma untuk menguatkan kelembagaan petani. Dengan penguatan kelembagaan antar desa dan antar koperasi koperasi akan menunjang perkebunan sawit petani.
“Dengan bersatu akan lebih mudah mendapatkan barang baik benih pupuk dan lainnya. Kemudian saat menjual barang komoditas juga akan lebih mudah karena posisi kuat,” pungkasnya.