JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Kalangan pengusaha kehutanan dan perkebunan mengajukan gugatan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan).
Yunita Sidauruk, Ketua Bidang Hukum GAPKI, mengatakan ada dua alasan mengajukan uji materi kedua regulasi tersebut. Pertama menggunakan hak konstitusional sebagai warga negara.”Yang kedua memohon kepastian hukum demi masa depan industri sawit indonesia,”kata Yunita melalui pesan singkat, Rabu (31/5/2017).
GAPKI dan APHI selaku pemohon diwakili Refly Harun. Dalam hal ini, pemohon merasa sebagai pihak yang selalu dipersalahkan dan dibebankan pertanggungjawaban mutlak (strict liability) apabila terjadi pembakaran hutan atau lahan meskipun secara faktual pembakaran tersebut tidak dilakukan oleh para Pemohon.
“Selain itu, para Pemohon juga mengalami kerugian finansial yang tidak sedikit. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi perlu menguji konstitusional pasal dan ayat a quo,” terang Refly seperti dilansir dari situs mahkamah konstitusi.
Selain itu, kata “kelalaian” dalam Pasal 99 UU Kehutanan dinilai terlalu luas cakupannya. Pemohon menilai kata tersebut tidak mencerminkan prinsip kepastian hukum serta asas pidana tiada pidana tanpa kesalahan. “Pada kata ‘kelalaian’ itu tidak jelas parameternya dan inti kelalaian itu disebabkan oleh siapa dan yang akan bertanggung jawab siapa,” urainya
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul didampingi Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Suhartoyo, Pemohon memohonkan uji materiil Pasal 69 ayat (2), Pasal 88, dan Pasal 99 UU PPLH dan Pasal 49 UU Kehutanan.