JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pangan adalah persoalan hidup dan mati negara. Kalimat ini diucapkan Presiden Soekarno, Presiden Pertama RI, sekitar 70 tahun lalu. Sebagai negara agraris, Indonesia masih berjibaku persoalan pangan sampai hari. Bukan hal mudah memenuhi kebutuhan perut 267 juta jiwa penduduknya. Lalu apa indikator ketahanan pangan Indonesia dan strategi mencapainya?
Hampir dua jam lebih, diskusi webinar bertemakan “Mengukur Ketahanan Pangan”, mengulas persoalan ketahanan pangan dari perspektif pakar dan media yang diadakan Sabtu pagi (30 Juni 2021). Hadir sebagai pembicara adalah Asisten Staf Khusus Wakil Presiden Republik Indonesia (RI) Bidang Ekonomi dan Keuangan, Guntur Subagja Mahardika dan Komisaris PT Media Lintas Inti Nusantara, Heru Hendratmoko.
Guntur Subagja menjelaskan bahwa di kala pandemi Covid-19 terjadi muncul kekhawatiran Indonesia akan kekurangan pangan. Setiap tahun, impor pangan tetap terjadi di sejumlah komoditas utama seperti beras, jagung, dan kedelai. Negara produsen pangan seperti Vietnam dan Thailand awalnya menutup ekspor ke negara lain termasuk Indonesia demi mencukup kebutuhan mereka.
“FAO (red-Organisasi Pangan Dunia) telah memperingatkan isu tersebut. Belum lagi, tantangan iklim yang diprediksikan akan terjadi kemarau panjang. Beruntung, cuaca tidak seperti prediksi,” jelasnya.
Menurutnya, beras tetap surplus semestinya tidak perlu impor. Tapi persepsinya dibentuk kurang pangan sehingga tiap tahun direncanakan impor. Padahal, produksi beras mencukupi bahkan mengalami kenaikan.
“Sampai akhir tahun kemarin, tidak ada kita dengar daerah kurang pangan. Kendati pandemi membatasi aktivitas. Saat pandemi, kebutuhan pangan idealnya tetap tinggi untuk imunitas. Namun yang terdengar, perbedaan harga pangan antar daerah. Ini artinya distribusi pangan masih belum merata,” jelasnya.
Badan Pusat Statistik menyebutkan Luas panen padi pada2020 diperkirakan sebesar 10,79 juta hektar, mengalami kenaikan sebanyak 108,93 ribu hektar atau1,02 persen dibandingkan luas panen pada 2019 yang sebesar 10,68 juta hektar. Produksi padi pada 2020 diperkirakan sebesar 55,16 juta ton GKG, mengalami kenaikan sebanyak 556,51 ribu ton atau 1,02 persen dibandingkan produksi pada 2019 yang sebesar 54,60 juta ton GKG.
Jika potensi produksi padi pada2020 dikonversikan menjadi beras untuk konsumsi pangan penduduk, produksi beras pada2020 diperkirakan sebesar 31,63 juta ton, mengalami kenaikan sebanyak 314,10 ribu ton atau1,00 persen dibandingkan 2019 yang sebesar 31,31 juta ton.
“Beras kita tahun lalu surplus mestinya tidak perlu impor. Cuma persepsinya dibuat seakan-akan kurang pangan. Dampaknya tiap tahun rencanakan impor,” jelas Guntur.
Begitupula luas tanam jagung nasional 2020 mencapai 5,5 juta hektar (Oktober2019-September 2020). Luas panen jagung nasional Januari Desember 2020 mencapai 5,16 juta hektar. Produksi Jagung dari Januari-Desember 2020 mencapai 24,95 juta ton pipil kering. Namun demikian jagung tetap impor sekira satu juta ton pada tahun lalu.
“Kendala industri pakan adalah bahan baku jagung. Ketika pandemi, jawaban dari produsen lokal, kami tidak impor lagi sudah dari pasokan lokal. Ini menarik perlu ditelaah saya khawatir karena publikasi, karena data ga akurat. Maka ada kepentingan tertentu untuk impor,” ujarnya.
Ia mengatakan kementerian terkait sebaiknya memperkuat data pangan. “Data ini perlu diperhatikan karena Presiden Jokowi sangat concern ini,” pintaya.
Heru Hendratmoko sepakat bahwa data pangan perlu dibenahi oleh pemerintah. Apalagi, isu pangan ini sangat mempengaruhi stabilitas perekonomian nasional. “Data menjadi penting untuk memenuhi kebutuhan pangan kita,” imbuhnya.
“Dari luasan, areal tanam pangan kita turun akibat meningkatnya kebutuhan properti. Rusaknya lahan pangan ini kurang mendapatkan perhatian pemerintah daerah, masih minim,” kata Heru.
Heru mengingatkan bahwa persoalan pangan bukan semata-mata beras. Karena selama ini, beras menjadi isu politik tahunan. Disinilah pentingnya diversifikasi pangan supaya tidak lagi ketergantungan beras.
“Ada beberapa komoditas unggul di daerah yang perlu dikembangkan lebih lanjut. Namun perlu sinergi lintas lembaga. Masing masing produk unggulan kembangkan di (daerah). Tidak perlu fokus pengembangan produk yang lain. Cukup kerjakan sungguh-sungguh (komoditas unggulan) supaya bisa mendukung ketahanan pangan,” ungkapnya.
Menurutnya beragam varietas pangan dapat dipenuhi sesuai karakter daerah masing-masing. Tujuannya dapat fokus menghasilkan kebutuhan pangan. Kemandirian pangan ini memprioritaskan apa yang penting dan yang mendapat dukungan penuh berbagai sistem baik dari aspek regulasi dan perdagangan.
Saat ini, kebijakan pemerintah membangun Lumbung Pangan (Food Estate) bersifat jangka menengah panjang untuk membangun ketahanan pangan. Dikatakan Guntur, korporatisasi petani akan membangun ekosistem pertanian hulu hilir. Pengembangan korporasi petani skala kecil harus dipahami lebih komprehensif.
Misalkan saat bicara padi, menurut Guntur, lebih mudah dikembangkan di Jawa. Tapi luar Jawa akan menjadi sulit seperti Kalimantan dan Sulawesi yang karakternya cocok perkebunan. Disinilah, teknologi dapat memainkan peranan supaya produksi terus meningkat.
Di sisi lain, edukasi berkaitan diversifikasi pangan perlu ditingkatkan. Menurutnya, masyarakat jangan lagi bergantung kepada beras. Ataupun, mie dari bahan baku gandum impor dapat dialihkan kepada bahan baku lain. “Tren ini mulai muncul di masyarakat terutama generasi milenial. Ketahanan pangan berikut ketersediaannya perlu dipersiapkan. Pangan kita harus berdaulat,” harap Guntur.