JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Industri kelapa sawit meminta konsistensi pemerintah dalam pelaksanaan pungutan ekspor di dalam PMK 191/PMK.05/2020. Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif GIMNI menjelaskan bahwa regulasi pungutan ekspor memberikan insentif yang cukup attractive untuk mengekspor produk hilir. Alhasil, peningkatan nilai tambah di sektor hilir akan berkontribusi bagi banyak hal antara lain nilai devisa , lapangan kerja dan pajak negara. Dan elemen ini sering dilupakan oleh sebagian para pebisnis sawit Indonesia.
“Semenjak Januari sampai Mei ini, harga sawit terus merangkak naik. Dari harga tender CPO Rp 9.900 per kilogram di Dumai, sekarang sudah di kisaran Rp 11.700 per kilogram. Pungutan ekspor juga ikut naik sebagai dampak kenaikan harga,” ujarnya.
Di pasar global, selisih harga antara CPO dengan soya oil mencapai US$ 400 per ton. Menurut Sahat, besarnya selisih ini akan membuat negara konsumen minyak nabati untuk mencari nabati murah. Satu-satunya minyak yang terjangkau harganya adalah sawit.
Di level harga rendah inilah yang menjadikan negara-negara sub-tropis penghasil soft oils berusaha untuk mendiskreditkan minyak sawit dari pasar dengan berbagai kampanye negatif akan sawit.
Sementara itu, rerata harga minyak bumi US$ 37,2 per barel di periode yang sama tahun 2020 , kini harga minyak bumi bertengger di US$ 67 per barel. Kenaikan harga minyak bumi ini juga memiliki relevansi dengan tingginya harga sawit.
“Jika dikatakan dengan pola pungutan yang sekarang memberi keuntungan bagi negara penghasil sawit lainnya. Kelihatannya ditiupkan oleh perusahaan kebun sawit asing yang ada di Indonesia. Lalu dikaitkan harga TBS sawit akan menurun, sebenarnya itu dipersepsikan,” jelas Sahat.
Menurutnya dengan kenaikan tarif pungutan ikut mendongkrak harga TBS petani, dan sebaliknya di tahun 2019 tidak ada pungutan sama-sekali harga TBS petani mangkrak di level Rp 700 -850/kg,” jelas lulusan Teknik Kimia Institut Teknologi Bandug ini.
Kebijakan tarif pungutan sudah tepat di tengah kondisi sekarang. Komposisi ekspor yang dominan hilir, dikatakan Sahat, menunjukkan tarif pungutan sangat efektif. Dampak positifnya mendongkrak harga TBS petani.
Sahat mengatakan Indonesia tidak lagi ekspor CPO di mana nilai tambahnya rendah. Skema tarif pungutan sekarang sebaiknya dipertahankan. Sebab, petani sedang menikmati tingginya harga TBS. Konsistensi pemerintah sangat dibutuhkan pelaku industri sawit dalam negeri.
“Kami mendapatkan insentif untuk mengekspor produk hilir sawit bernilai tambah tinggi dan sekaligus mulai mampu bangkit untuk merebut pasar IHKS di pasar global,” pungkasnya.