YOGYAKARTA, SAWIT INDONESIA – Para pakar dan akademisi memberikan sejumlah prasyarat supaya industri sawit dapat bertahan menuju visi 2045. Kepastian regulasi dan keberpihakan pemerintah menjadi kunci utama menjaga keberlangsungan industri sawit. Jika tidak dilakukan dapat dipastikan industri sawit akan hilang sebelum 2045.
Menanggapi hal tersebut, Policy Analisys Bidang Kehutanan dan Perkebunan, Dr. Sadino mengatakan regulasi sebagai payung hukum industri sawit disusun secara parsial. Jadi belum ada badan legislasi yang merancang sawit ke depannya.
“”Yang terjadi sekarang ini, regulasi untuk sawit saling menegasikan satu sama lain. Bahkan di lapangan, sawit dapat mati dengan sendirinya akibat regulasi,” ujarnya saat menjadi pembicara pada acara Forum Sawit Indonesia (FoSI), pada Rabu (30 November 2022), di INSTIPER Yogyakarta.
Dijelaskan Sadino hingga saat ini belum ada pengganti sawit, apakah harus diamputasi. Bisa dilihat dalam putusan pengadilan, komoditas sawit seperti ingin dimatikan. “Ketika inkrach, sawit tidak terkelola dengan baik. Seperti putusan gugatan yang mencapai ratusan miliar. Perusahaan memilih memailitkan dari pada membayar. Lalu dirambah masyarakat akhirnya terkelola semrawut, lalu siapa yang mau melanjutkan itu?,” jelasnya.
“Ditambah lagi, sekarang ada izin bebas gambut, ketika tidak dapat izin bukan gambut lindung akhirnya mereka tidak tanam itu. Misalnya, di Kuansing (Riau), masyarakat tidak bisa mengajukan pinjaman karena lahan mereka masuk gambut. Kalau dikatakan petani akan dipermudah mengurus dikeluakan dari kawasan hutan, itu tidak mungkin,” imbuh Sadino.
Sadino menegaskan tidak ada petani yang diberikan jalan tol. Karena regulasinya memang tidak memungkinkan. Di Riau, masih ada persoalan 1,8 juta hektare kebun sawit rakyat masuk kawasan hutan.
Sadino menjelaskan bahwa implementasi hukum khususnya kehutanan dan penataan ruang tidak konsisten dan pelaku usaha sawit baik perusahaan dan pekebun banyak yang menjadi korban, mulai dari perubahan penggunaan Peta Administrasi, Kehutanan dan Penataan Ruang. Inkonsistensi terjadi dalam perubahan SK Penunjukan Kawasan Hutan di hampir semua Provinsi dan Kabupaten/Kota sentra sawit.
“Penentu kebijakan cenderung bersifat sektoral. Perlindungan hukum keberlangsungan usaha perkebunan sawit tidak sedikit lahannya kebun dimasuki Kawasan hutan/berubah ruang, khususnya sebagai kawasan hutan atau perubah ruangnya menjadi kawasan hutan,” tambah Sadino.
Pada kesempatan sama,
Pendapat serupa dilontarkan Dr. Petrus Gunarso, Kepala Divisi Riset, Kebijakan, dan Advokasi Relawan Jaringan Rimbawan.”Seperti dikatakan Pak Sadino, regulasi lingkungan sudah demikian sulitnya bagi pertumbuhan industri sawit. Padahal penanaman sawit itu sedari awal sampai panen ibaratnya sangat berkeringat,” ujar Petrus Gunarso.
“Indonesia sudah melindungi hutannya 66 juta ha secara permanen. Harapannya apa kita itu kuat untuk mendatangkan uang karbon sebesar Rp 140 triliun, itu sangat tidak mungkin,” ucapnya.
Selanjutnya ia mengatakan dalam update Nationally Determined Contribution (NDC) 2021, pengurangan emisi karbon 29% kalau dibantu sendiri dan 41% dibantu internasional. Lalu angka ini berubah, saya heran di en-hance batas bawahnya. Kalau bantuan luar negeri diharapkan masuk bagus untuk Indonesia. Pengurangan emisi karbon dibantu sendiri 31,89% dan 43,2% dari internasional.
“Satu dekade dari sekarang dengan implementasi dan penegakan hukum seperti sekarang. Maka sawit bisa tamat lebih cepat dari kayu. Sektor kayu juga hampir tamat. Data sawit tidak ada datanya di FAO. Dari residu sawit dapat dijadikan bioethanol. Biomassa kita luar biasa. Tetapi pemerintah malahan akan melepaskan hutan untuk perkebunan tebu,” pungkasnya.