Menurut indeks material rasio antara bahan baku dengan produk akhir, jika indeks material lebih besar dari satu, lokasi industri mendekat pada bahan baku. Sedangkan jika indeks material lebih kecil dari satu, lebih dekat pada sentra konsumen. Pada industri minyak goreng sawit nasional, indeks material lebih besar satu sehingga menurut teori tersebut lokasi industri minyak goreng berada di sentra produksi bahan baku yakni CPO. Pada kenyataanya hanya 48% dari kapasitas industri yang berada di sentra produksi CPO. Sebagaian besar yakni 51% berada di sentra konsumen (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur).
Hal ini menunjukan bahwa lokasi bahan baku hanyalah salah satu faktor pertimbangan penentu lokasi industri. Faktor lain seperti ketersediaan jaringan logistik, karateristik permintaan minyak goreng relatif yang terhadap karateristik produksi bahan baku, faktor sejarah, ikut memengaruhi lokasi industri secara nasional, dalam periode tahun 2002-2008, industri minyak goreng mengalami perkembangan pesar baik jumlah perusahaan, kapasitas produksi maupun produksi. Jumlah perusahaan pelaku industri minyak goreng sawit meningkat dari 70 unit usaha pada tahun 2002 menjadi 74 unit usaha pada tahun 2008. Kapasitas produksi juga meningkat yakni dari 8,2 juta ton per tahun 2002 menjadi 154 juta ton per tahun 2008 atau bertumbuh rata-rata sekitar 11% per tahun. Demikian juga produksi minyak goreng sawit meningkat dari 3,7 juta ton menjadi 7,9 juta ton dalam periode yang sama.
Dalam periode tahun 2002-2008, utilisasi kapasitas produksi industri minyak goreng sawit masih relatif rendah yakni antara 45%-57%, namun cenderung meningkat sekitar 2% per tahun. Hal ini menunjukan bahwa industri minyak goreng sawit masih mengalami kelebihan kapasitas (over capacity) sekitar 43%-55% per tahun.
Sumber : GAPKI